Jan 31, 2014

KETIDAKADILAN GENDER 2

KETIDAKADILAN GENDER


A.      Kasus Gender
Sebuah keluarga yang dikepalai oleh Bapak Edi, tidak melakukan kewajibannya menjadi pelaku utama pencari nafkah dalam keluarga, tetapi hanya sebagai pembantu pencari nafkah yaitu membantu istrinya dalam menjalankan usahanya berjualan bakso. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh sang suami sebagai pencari nafkah utama tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan beban masalah ini harus perempuan (istri) yang mengerjakan. Istri tidak hanya dituntut untuk bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tapi juga harus bisa mengurusi semua hal yang berkaitan dengan keluarga, mulai dari memasak, mencuci pakaian, mengurus anak dan lainnya. Hal inilah yang menimpa pada keluarga ibu Sulis. Ibu dua anak ini, setiap harinya mencari nafkah keluarga dengan berjualan bakso di rumahnya, sedangkan suaminya memiliki lebih banyak waktu santai dan hanya membantu sekedarnya saja.

B.       Pembahasan
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa:
a.    Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
b.    Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Sejarah gender ini sebenarnya telah berlangsung lama, meskipun istilah gender belum dikenal saat itu. Sejak zaman pra sejarah perempuan dan laki-laki mempunyai peran tersendiri, namun dalam hal kebijakan laki-laki sangat dominan dan seiring dengan perkembangan zaman peran perempuan semakin meluas di segala sisi. Keterpurukan peran perempuan pada beberapa zaman seperti zaman jahiliah di Jazirah Arab juga menggambarkan betapa perempuan pada zaman dahulu dipandang sebelah mata.
Mansour Fakih (1997) dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menegaskan bahwa ketidakadilan gender dapat mengakibatkan: marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban berlipat.
1.    Marginalisasi perempuan
Marginalisasi merupakan proses pemiskinan perempuan terutama terhadap pada masyarakat lapisan bawah. Proses peminggiran kaum perempuan itu dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkungan keluarga maupun di tengah masyarakat.
2.    Penempatan perempuan pada subordinasi
Pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan beranggapan bahwa perempuan itu tidak mampu berfikir rasional, tindakannya selalu berdasarkan emosional, lemah, tidak bisa mandiri, dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting.
3.    Stereotype perempuan
Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan.

4.    Kekerasan (Violence) terhadap perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender lainnya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomis, dan seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan.
5.    Beban kerja yang tidak proporsional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya ia berhak untuk diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan perempuan seolah-olah identik dengan dirinya. Sementara, laki-laki dengan peran publiknya, menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial), tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.

C.      Analisa Kasus
Merujuk pada materi Hukum dan Gender, penulis berkesimpulan bahwa peran ganda yang dialami perempuan tersebut dapat dikategorikan sebagai Double Burden (beban berlebihan). Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada laki-laki. Suami sebagai kepala rumah tangga dan memiliki fisik lebih kuat dibandingkan dengan istrinya tidak menjalankan tugas layaknya kepala rumah tangga, namun justru istri yang menanggung beban rumah tangga ditambah lagi dengan pekerjaan rumah lainnya. Istri bekerja tidak sesuai dengan porsinya sebagai pembantu pencari nafkah tapi justru harus menafkahi keluarga. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kondisi dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati, menghargai, bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing dan bantu-membantu di berbagai sektor kehidupan.


D.      Analisa Hukum
Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 ayat 2 (amandemen ke dua) menegaskan bahwa:
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat  diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Berdasarkan UUD tersebut, kasus di atas walaupun istri rela mencari nafkah utama dalam keluarga tanpa paksaan dari suami, namun mengalami diskriminasi / ketidakadilan antara suami dan istri, dimana suami yang seharusnya menjadi penanggungjawab dalam keluarga termasuk mencari nafkah lahir dan istri mencari nafkah tambahan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, justru istri yang menjadi pencari nafkah utama. Suami yang memiliki fisik lebih kuat dari istri seharusnya sebagai pencari nafkah utama, karena suami juga menjadi kepala keluarga yang dibebani tanggung jawab penuh atas nafkah kepada istri.
Istri terlalu banyak menanggung beban keluarga dibandingkan dengan suami yang banyak waktunya digunakan untuk bersantai, dengan fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan suami ia harus menyelesaikan tugas sendirian. Jika mengacu pada undang-undang tersebut, seharusnya suamilah yang melaksanakan tanggung jawab dalam menghidupi keluarga, sedangkan istri tidak wajib mencari nafkah dalam arti walaupun mencari nafkah hanya sebagai pembantu pencari nafkah.