HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN
A.
Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam
Hukum Adat
Perkawinan, di dalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan
kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajad dan
urusan pribadi diantara satu dengan yang lainnya di dalam hubungan yang
beraneka ragam.
Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat
untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga.
Perkawinan menjadi urusan keluarga, apabila dalam adat kerabat tidak merupakan
pusat nilai masyarakat hukum, melainkan keluargalah yang berperan pokok disini
dalam kehidupan hukum.
Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas
atau derajat-derajat di dalam dan di luar masyarakat dipertahankan. Dengan
demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.
B.
Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun sistem
Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga
dengan sistem Pleutherogami sebagaimana
berlaku di kebanyakan
masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.
Di lingkungan Batak, terutama yang beragama Kristen, masih mempertahankan
susunan kekerabatan yang sifatnya asymetrisch
connubius. Sistem perkawinan yang dianut adalah Exogami, dimana seorang
pria harus mencari seorang istri diluar marga (klan patrilinieal) dan dilarang
kawin dengan wanita yang semarga. Akan tetapi saat ini, sistem perkawinan
keluarga marga seperti ini sudah luntur, seperti di Tapanuli Selatan,
Minangkabau, Sumatra Selatan, Lampung dan daerah lainnya, antara lain
disebabkan masuknya pengaruh agama Islam.
Pada sistem perkawinan Endogami, pria diharuskan mencari calon
istri dalam lingkungan kerabat (suku) klan famili sendiri dan dilarang mencari
keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini dulu berlaku di daerah
Toraja Tengah atau kalangan masyarakat kasta di Bali.
C.
Islam Dalam Pengaruh Agama Perkawinan Adat
Perkawinan secara Hetherogami
merupakan pengaruh dari hukum perkawinan Islam, dimana seorang pria tidak
lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari seorang istri di luar atau didalam
lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan
dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan
oleh hukum Islam atau hukum perundangan-undangan yang berlaku.
Di lain pihak orang tua masih menginginkan agar dalam mencari
jodoh, anak-anak mereka memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku di masyarakat,
misalnya dalam masyarakat Jawa ialah harus mengenai: bibit, bobot, dan bebet
dari sang pria maupun wanita yang bersangkutan.
Perkawinan bermadu terdapat hampir di semua
lingkungan masyarakat adat di mana seorang suami di dalam suatu masa yang sama
mempunyai beberapa istri. Di kalangan masyarakat yang beragama Islam,
perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al-Qur’an
surat An-Nisa’ ayat 3 yang artinya: “Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu
pandang baik, dua, tiga, atau empat, tetapi jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja”. Tetapi untuk berlaku adil
itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak
disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan
dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan
segi keadilannya.
Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 maka
jiwa ketentuan dari Al-Qur’an itu disalurkan ke dalam pasal 3 yang menyatakan:
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kebolehan beristri lebih dari seorang tersebut bisa dilaksanakan
dengan peraturan atau syarat-syarat yang
cukup ketat.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah:
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama
dan /
atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat.
3) Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat
setempat.
4) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui oleh
masyarakat adat.
5) Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cukup
umur atau masih anak-anak. Begitu pula
walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua /
keluarga dan kerabat.
6) Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada juga yang dilarang.
7) Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku dan istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga
dan istri yang bukan ibu rumah tangga.
D.
Perceraian Dan Akibat-akibatnya
1.
Perceraian
Perceraian baik
menurut hukum adat maupun hukum agam adalah perbuatan yang tercela. Dalam
undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal
39 yang menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwasanya antara suami-istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.
Di dalam
penjelasan dari pasal 39 tersebut dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a.
Salah satu pihak berbuat zina atau berbuat maksiat.
b.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan.
d.
Salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya.
f.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
2.
Akibat-akibat perceraian
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian, perceraian,
dan atas keputusan pengadilan. Sesuai yang tercantum di dalam pasal 38 UU no. 1
tahun 1974.
1)
Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a.
Di lingkungan masyarakat patrilineal
Di masyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur,
apabila putus prkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap
berada dalam
kekerabatan suami. Yang bertanggung
jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak i mana saja mereka berada adalah
ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan
ibu atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataan ibu dan kerabat ibunya yang
memelihara dan mendidiknya.
b.
Di lingkungan masyarakat
matrilineal
Di dalam masyarakat kekerabatan matrilineal apabila terjadi
perceraian, maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Andaikata terjadi perceraian, suami pergi
meninggalkan tempat kediaman istri, maka ia tidak berhak menguasai
anak-anaknya.
c.
Di lingkungan masyarakat bilateral
Putusnya perkawinan di lingkungan masyarakat adat yang bersifat
bilateral yang disebabkan karena perceraian, maka kedudukan anak-anak
tergantung kondisi. Biasanya jika putus perkawinan karena perceraian, anak-anak
yang sudah besar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
2)
Akibat bagi harta perkawinan
a.
Di lingkungan masyarakat patrilineal
Bila terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah
tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan,
kecuali yang merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri
dan maskawin atau pemberian suami ketika pelaksanaan perkawinan.
b.
Di lingkungan masyarakat matrilineal
Di dalam masyarakat matrilineal, jika putus perkawinan karena
perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat
istri. Walaupun demikian, pada masyarakat dimana
terdapat keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya tanpa ikatan
harta pusaka, jika terjadi perceraian maka harta bersama dibagi jika
pencahariannya berimbang.
c.
Di lingkungan masyarakat parental /
bilateral
Jika putusnya perkawinan di dalam masyarakat adat yang berbentuk
bilateral itu yang diakibatkan karena adanya perceraian, maka akibatnya bagi
harta perkawinan adalah:
· Harta bawaan
suami atau istri kembali pada pihak yang membawanya ke dalam perkawinan.
· Harta
penghasilan sendiri baik suami ataupun istri kembali kepada yang
menghasilkannya.
· Harta
pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan
istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
E.
Fungsi Harta Perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah
semua harta yang dikuasai oleh suami istri selama mereka terikat di dalam
ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan,
harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami
istri dan barang-barang hadiah.
Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan
rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam
beberapa macam, yaitu ;
1.
Harta yang diperoleh atau dikuasai oleh suami atau istri sebelum
perkawinan yaitu harta bawaan.
2.
Harta yang diperoleh /
dikuasai suami atau istri secara
perseorangan baik sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta
penghasilan.
3.
Harta yang diperoleh / di
kuasai suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
4.
Harta yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara
perkawinan sebagai hadiah yang disebut hadiah
perkawinan
F.
Pemisahan Harta Perkawinan
Harta
perkawinan di golongkan ke
dalam 4 macam;
1.
Harta Bawaan
Harta bawaan
ini bisa kita bedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, di mana
masing-masing dapat dibedakan lagi, yaitu:
a.
Harta peninggalan, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh
suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tuanya. Para ahli
waris hanya berhak untu memakai saja.
b.
Harta warisan, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh
suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua
untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah
tangga, dalam istilah jawa “gawan”.
c.
Harta hibah / wasiat, yaitu
harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan
yang berasal dari hibah / wasiat
anggota kerabat.
d.
Harta pemberian /
hadiah, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa suami atau istri ke dalam
perkawinan, yang berasal dari pemberian para anggota kerabat dan mungkin juga
orang lain karena hubungan baik.
2.
Harta Penghasilan (Perseorangan)
Sebelum
melangsungkan perkawinan suami atau istri adakalanya telah menguasai dan memiliki
harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang
didapat dari hasil usaha sendiri termasuk juga utang piutang perseorangannya.
3.
Harta Pencaharian
Bermodal
kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing, dan harta
penghasilan masing-masing sebelum pekawinannya, maka setelah perkawinan dalam
usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia
dan kekal mereka berusaha dan mencari rezeki bersama-sama, sehingga dari sisa
belanja sehari-hari akan dapat terwjud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian
bersama.
4.
Hadiah Perkawinan
Segala harta
pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan, baik yang
berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan dari anggota kerabat.
Tetapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu
maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai
wanita maupun mempelai pria ketika upacara resmi pernikahan.
G. Status Hukum Harta Yang Diperoleh
Antara Suami-Istri Dalam Perkawinan.
Kedudukan harta
yang diperoleh oleh suami/ istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa
yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh oleh istri, maka sudah tentu
harta perkawinan itu menjadi milik pihak istri. Tetapi apabila harta perkawinan
itu diperoleh oleh pihak suami maka sudah barang tentu harta itu milik pihak
suami. Harta yang diperoleh secara bersama, maka harta tersebut menjadi harta milik bersama.