Jan 27, 2014

HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN


HUKUM PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN

A.     Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan, di dalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajad dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lainnya di dalam hubungan yang beraneka ragam.
Dalam lingkungan masyarakat kerabat, perkawinan merupakan syarat untuk meneruskan silsilah, sehingga perkawinan adalah urusan keluarga. Perkawinan menjadi urusan keluarga, apabila dalam adat kerabat tidak merupakan pusat nilai masyarakat hukum, melainkan keluargalah yang berperan pokok disini dalam kehidupan hukum.
Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas atau derajat-derajat di dalam dan di luar masyarakat dipertahankan. Dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.

B.     Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun sistem Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga dengan sistem Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi oleh hukum Islam.
Di lingkungan Batak, terutama yang beragama Kristen, masih mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asymetrisch connubius. Sistem perkawinan yang dianut adalah Exogami, dimana seorang pria harus mencari seorang istri diluar marga (klan patrilinieal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Akan tetapi saat ini, sistem perkawinan keluarga marga seperti ini sudah luntur, seperti di Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatra Selatan, Lampung dan daerah lainnya, antara lain disebabkan masuknya pengaruh agama Islam.
Pada sistem perkawinan Endogami, pria diharuskan mencari calon istri dalam lingkungan kerabat (suku) klan famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini dulu berlaku di daerah Toraja Tengah atau kalangan masyarakat kasta di Bali.

C.     Islam  Dalam Pengaruh Agama Perkawinan Adat
Perkawinan secara Hetherogami merupakan pengaruh dari hukum perkawinan Islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari seorang istri di luar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundangan-undangan yang berlaku.
Di lain pihak orang tua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh, anak-anak mereka memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku di masyarakat, misalnya dalam masyarakat Jawa ialah harus mengenai: bibit, bobot, dan bebet dari sang pria maupun wanita yang bersangkutan.
Perkawinan bermadu terdapat hampir di semua lingkungan masyarakat adat di mana seorang suami di dalam suatu masa yang sama mempunyai beberapa istri. Di kalangan masyarakat yang beragama Islam, perkawinan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3 yang artinya: “Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua, tiga, atau empat, tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja”. Tetapi untuk berlaku adil itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan segi keadilannya.
Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 maka jiwa ketentuan dari Al-Qur’an itu disalurkan ke dalam pasal 3 yang menyatakan:
1.      Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.   Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Kebolehan beristri lebih dari seorang tersebut bisa dilaksanakan dengan peraturan atau syarat-syarat yang cukup ketat.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah:
1) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2)    Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan / atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat.
3)    Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4)   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat.
5)    Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua / keluarga dan kerabat.
6)      Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada juga yang dilarang.
7)   Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku dan istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan istri yang bukan ibu rumah tangga.

D.     Perceraian Dan Akibat-akibatnya     
1.       Perceraian
Perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum agam adalah perbuatan yang tercela. Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 39 yang menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwasanya antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Di dalam penjelasan dari pasal 39 tersebut dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau berbuat maksiat.
b.       Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.        Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan.
d.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e.        Salah satu pihak mendapat cacat badan  atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya.
f.         Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.  
2.       Akibat-akibat perceraian      
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Sesuai yang tercantum di dalam pasal 38 UU no. 1 tahun 1974.
1)      Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a.       Di lingkungan masyarakat patrilineal
Di masyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus prkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada dalam kekerabatan suami. Yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak i mana saja mereka berada adalah ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan ibu atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataan ibu dan kerabat ibunya yang memelihara dan mendidiknya.
b.       Di lingkungan masyarakat  matrilineal
Di dalam masyarakat kekerabatan matrilineal apabila terjadi perceraian, maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Andaikata terjadi perceraian, suami pergi meninggalkan tempat kediaman istri, maka ia tidak berhak menguasai anak-anaknya.
c.        Di lingkungan masyarakat bilateral
Putusnya perkawinan di lingkungan masyarakat adat yang bersifat bilateral yang disebabkan karena perceraian, maka kedudukan anak-anak tergantung kondisi. Biasanya jika putus perkawinan karena perceraian, anak-anak yang sudah besar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
2)      Akibat bagi harta perkawinan
a.       Di lingkungan masyarakat patrilineal
Bila terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali yang merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri dan maskawin atau pemberian suami ketika pelaksanaan perkawinan.
b.       Di lingkungan masyarakat matrilineal
Di dalam masyarakat matrilineal, jika putus perkawinan karena perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat istri. Walaupun demikian, pada masyarakat dimana terdapat keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya tanpa ikatan harta pusaka, jika terjadi perceraian maka harta bersama dibagi jika pencahariannya berimbang.
c.        Di lingkungan masyarakat parental / bilateral
Jika putusnya perkawinan di dalam masyarakat adat yang berbentuk bilateral itu yang diakibatkan karena adanya perceraian, maka akibatnya bagi harta perkawinan adalah:
·     Harta bawaan suami atau istri kembali pada pihak yang membawanya ke dalam perkawinan.
·     Harta penghasilan sendiri baik suami ataupun istri kembali kepada yang menghasilkannya.
·     Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.

E.     Fungsi Harta Perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai oleh suami istri selama mereka terikat di dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencarian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu ;
1.       Harta yang diperoleh atau dikuasai oleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
2.       Harta yang diperoleh / dikuasai suami atau istri secara  perseorangan baik sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
3.       Harta yang diperoleh / di kuasai suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
4.       Harta yang diperoleh suami dan istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang disebut hadiah perkawinan

F.      Pemisahan Harta Perkawinan
Harta perkawinan di golongkan ke dalam 4 macam;
1.       Harta Bawaan
Harta bawaan ini bisa kita bedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, di mana masing-masing dapat dibedakan lagi, yaitu:
a.       Harta peninggalan, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan  orang tuanya. Para ahli waris hanya berhak untu memakai saja.
b.       Harta warisan, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga, dalam istilah jawa “gawan”.
c.        Harta hibah / wasiat, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan yang berasal dari hibah / wasiat anggota kerabat.
d.       Harta pemberian / hadiah, yaitu harta atau barang-barang yang dibawa suami atau istri ke dalam perkawinan, yang berasal dari pemberian para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik.
2.       Harta Penghasilan (Perseorangan)
Sebelum melangsungkan perkawinan suami atau istri adakalanya telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat dari hasil usaha sendiri termasuk juga utang piutang perseorangannya.

3.       Harta Pencaharian
Bermodal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing, dan harta penghasilan masing-masing sebelum pekawinannya, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga keluarga yang bahagia dan kekal mereka berusaha dan mencari rezeki bersama-sama, sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwjud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.
4.       Hadiah Perkawinan
Segala harta pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan, baik yang berasal dari pemberian para anggota kerabat maupun bukan dari anggota kerabat. Tetapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita maupun mempelai pria ketika upacara resmi pernikahan.

G.  Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami-Istri Dalam Perkawinan.
Kedudukan harta yang diperoleh oleh suami/ istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh oleh istri, maka sudah tentu harta perkawinan itu menjadi milik pihak istri. Tetapi apabila harta perkawinan itu diperoleh oleh pihak suami maka sudah barang tentu harta itu milik pihak suami. Harta yang diperoleh secara bersama, maka harta tersebut menjadi harta milik bersama.