Makalah
ALIRAN JABARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan berkembangnya
peradaban islam,dikalangan kaum muslimin banyak terjadi perbedaan
pendapat,sehingga banyak bermunculan aliran-aliran dalam islam yang diantaranya
adalah aliran Mu’tazilah, asy’ariaah, maturidiyah, syiah, khodariyah, murjiah,
dan jabariyah.aliran-aliran ini termasuk dalam aliran ilmu kalam.
Berdasarkan uraian diatas
penulis tertarik untuk membahas salah satu aliran dalam ilmu kalam yaitu aliran
“JABARIYAH”
dengan maksud supaya penulis mengetahui mengenai aliran tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
- Bagaimana
asal mula pertumbuhan aliran jabariyah ?
- Bagaimana
ciri-ciri ajaran jabariyah ?
- Siapa
saja tokoh-tokoh jabariyah dan doktrin-doktrinnya?
BAB II
ALIRAN JABARIYAH
A. Asal Mula Terbentuknya Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang
berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu.
Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme,
yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[1]
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini
tidak lepas dari beberapa faktor. Antara lain:
1.
Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah
(660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya
perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak
mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk
memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin
memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala
negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan
Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan
(Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70
H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut
Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia
terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan
Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin
Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat
lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah
Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali
menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah.
Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan
mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah
namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi
pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum
tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali.
Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai
tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum
Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham
mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua
perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah. Disebut
Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan
sifat-sifat Allah, Al-Quran itu Makhluk, dan pengingkaran mereka mengenai
kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah
adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah
dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah
menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2.
Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui
pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh
gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.
Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka
sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.[2]
B. Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
a.
Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan
ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata
Allah semata yang menentukannya.
b.
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun
sebelum terjadi.
c.
Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
d.
Iman cukup dalam hati saja tanpa harus
dilafadhkan.
e.
Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan
makhluk ciptaanNya.
f.
Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan
hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah
Allah semata.
g.
Bahwa Allah itu sekali-kali tidak mungkin dapat
terlihat oleh manusia,walaupun diakhirat kelak. Tentang surga dan neraka, kelak
sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya,dan sesudah merasakan pembalasan
bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga
dan neraka itu.[3]
h.
Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang
melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama
sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan
melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan
mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan,
bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat
apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan
yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya
dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada
penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan
total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan
kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas
mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa
segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu
seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan
amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah,
seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada
gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan
usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak
memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti
akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang
dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan
mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal
anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap
pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan
dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam
perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan
dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
C. Tokoh-tokoh Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat
dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara
totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
1.
Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran
Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
a.
Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia
baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan
makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
c.
Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
2.
Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan
teologi adalah sebagai berikut:
a. Manusia tidak mampu
untuk brbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentangketerpaksaan ini
lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di
akhirat.
b. Surga dan neraka
tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c. Iman adalah ma’rifat
atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman
yang diajukan kaum Murji’ah.
d. Kalam Tuhan adalah
makhluq. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan
indera mata di akhirat kelak.
e. Dengan demikian
beberapa hal, pendapat Jahm hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan
As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkrtik dan sejarawan menyebutnya dengan
Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah
sebagai berikut:
2.
An-Najjar
Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
a. Tuhan menciptakan
segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.
Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b. Tuhan tidak dapat
dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Tuhan.
3.
Adh-Dirrar
Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak
hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai
ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima
setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.[4]
Sebagian pengikut Jabariyah telah beranggapan
bersatu dengan Tuhan. Disini menimbulkan faham wahdatul wujud, yaitu bersatunya
hamba dengan Tuhannya. I`tiqad persatuan antara Khaliq dengan makhluk adalah
i`tiqad yang keliru, karena Tuhan tidak serupa dengan sekalian yang ada dalam
alam ini. Menurut faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah, manusia akan mendapatkan
hukuman karena ikhtiar atau usahanya yang tidak baik dan akan diberi paham
dengan karunia Tuhan atas ikhtiar dan usahanya yang baik itu. Sesuai dengan
firman-Nya (Q.S. Al-Baqarah:286)
Artinya:
”Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bahwa
Jabariyah adalah aliran yang menyebarkan paham bahwa Tuhan-lah yang berkuasa
dan manusia tidak mempunyai daya apapun. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa,
segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia itu telah ditetapkan oleh Tuhan. Dan
ini adalah ajaran yang salah.
B.
Saran
Selanjutnya saran dan kritik yang produktif sangat
kami harapkan dalam memperbaiki eksistensi uraian tentang aliran kalam ini.
Mudah-mudahan kita selalu dalam naungan-Nya.
[1] http://motipasti.wordpress.com/2009/12/07/mazhab-khawarij-murjiah-jabariyah-dan-qadariyah-dalam-ilmu-kalam/
[2] http://bara-aliranjabariyah.blogspot.com/2009/11/aliran-jabariyah.html
[3] M.Taib Thahir Abd
Mu`in, Ilmu Kalam (Jakarta: Widjaya, 1964)102
[4] http://motipasti.wordpress.com/2009/12/07/mazhab-khawarij-murjiah-jabariyah-dan-qadariyah-dalam-ilmu-kalam/