WASIAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai makhluk Allah kita pasti menemui maut atau
kematian. Dan hal yang selalu berhubungan dengan peristiwa kematian adalah
harta peninggalan si mayat (orang yang meninggal) baik dari sisi pembagian
ataupun siapa saja yang berhak menerima. Hal ini tidak jarang menimbulkan
perselisihan antara orang-orang yang ditinggalkan (ahli waris). Banyak
fenomena pembagian harta waris diwarnai dengan perbedaan pendapat.
Seperti ada ahli waris yang berpendapat bahwa harta harus dibagikan kepada
orang-orang sesuai permintaan si mayat sebelum meninggalnya, dan ada juga yang
berpendapat harus meniti hukum islam yaitu dalam hal ini faraidh (hukum waris),
sehingga pembagian harta waris tersebut berujung dengan perselisihan yang
memanjang.
Ditengah-tengah permasalahan ini hadir sebuah
ketetapan hukum sebagai salah-satu solusi atas permasalahan diatas yaitu
wasiat. Yang mana wasiat ini harus dilaksanakan sebelum harta waris dibagikan
kepada ahli waris dengan ketetapan maksimal 1/3 dari harta yang ditinggalkan
oleh si mayat. Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat penting artinya
sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Oleh karena itu, makalah ini akan
membahas mengenai wasiat yang terdapat dalam Al-Quran serta bagaimana makna
yang terkandung di dalamnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di
atas, masalah yang akan kami
paparkan adalah sebagai berikut:
Apa
kandungan hukum surat Al-Maidah ayat 106-108?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat Al-Maidah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِن بَعْدِ الصَّلاَةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لاَ نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلاَ نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللّهِ إِنَّا إِذًا لَّمِنَ الآثِمِينَ)١٠٦( فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْمًا فَآخَرَانِ يِقُومَانُ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِن شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَّمِنَ الظَّالِمِينَ (١٠٧) ذَلِكَ أَدْنَى أَن يَأْتُواْ بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُواْ أَن تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاسْمَعُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (١٠٨)
B.
Terjemah
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan
berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu*, jika kamu dalam perjalanan
di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan
kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, "(Demi Allah) Kami tidak akan mengambil keuntungan
dengan sumpah ini, walaupun Dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; Sesungguhnya jika kami demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa". (106)
Jika terbukti kedua saksi itu berbuat dosa**, Maka dua orang yang lain menggantikan kedudukannya, yaitu di antara ahli waris yang berhak dan lebih dekat kepada orang yang mati, lalu keduanya
bersumpah dengan nama Allah: "Sungguh, kesaksian Kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi
itu, dan Kami tidak melanggar batas. Sesungguhnya jika Kami berbuat demikian tentu Kami Termasuk orang-orang zalim". (107)
Dengan cara itu mereka lebih patut memberikan kesaksiannya menurut yang sebenarnya, dan mereka merasa takut akan
dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) setelah mereka bersumpah***. Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah
(perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (108)
* Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu
sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
** Maksudnya: melakukan kecurangan dalam persaksiannya, dan hal ini
diketahui setelah ia melakukan sumpah.
*** Maksud sumpah itu dikembalikan, ialah
saksi-saksi yang berlainan agama itu ditolak dengan bersumpahnya saksi-saksi
yang terdiri dari karib kerabat, atau berarti orang-orang yang bersumpah itu
akan mendapat Balasan di dunia dan akhirat, karena melakukan sumpah palsu.
C.
Asbabun Nuzul
Ada banyak riwayat yang dikemukakan oleh ahli
asbabun nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, walau berbeda-beda tapi
intinya sama[1]. Pada
suatu kali pergilah Budail Maula Amar ibn Ash membawa barang dagangan ke
Madinah. Di kota itu, ia berjumpa Tamim ad-dary dan Adi, dua orang Nasrani yang
tinggal di Mekkah, lalu mereka pun bersama-sama pergi ke Syam.
Di tengah perjalanan Budail menderita sakit, lalu
dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam barang-barang dagangan
miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya menyampaikan barang
dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima para ahli waris, Tamim dan
Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan mengambil sebagiannya. Setelah
itu barang dibungkus kembali dan kemudian diserahkan kepada keluarga Budail,
yang tentu saja tidak utuh lagi. Keluarga Budail terkejut ketika bungkusan
dibuka jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat, yang juga diletakkan
dalam bungkusan tanpa diketahui kawan almarhum yang dititipi. Para ahli waris
pun datang kepada mereka yang menyerahkan barang titipan tersebut. Tetapi
mereka yang dititipi mengatakan itulah barang-barang yang mereka terima. Mereka
mengaku tidak tahu barang dalam bungkusan berkurang. Keluarga Budail mengatakan
jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat. Untuk menyelesaikan hal
itu, akhirnya mereka mengadu kepada Nabi. maka turunlah ayat ini “hai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kalian menghadapi
kematian, sedang dia kan berwasiat , maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil diantara kalian, atau dua orang yang berlainan agama
dengan kalian... Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang
yang berdosa”. Kemudian Rasulullah SAW menyuruh dua teman almarhum
atau saksi tersebut bersumpah dengan nama Allah setelah sembahyang ashar yaitu “
Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, kami tidak memegang selain dari ini
dan kami tidak menyembunyikannya.”
Kemudian mereka tinggal sebagaimana yang
dikehendaki Allah untuk tinggal. Sesudah itu tampak pada mereka berdua ada
sebuah bejana dari perak yang diukir dengan emas. Keluarganya berkata ”ini
sebagian dari barangnya”. Mereka berdua berkata,” benar, tetapi kami
telah membelinya dari dia, dan kami lupa menyebutkannya ketika bersumpah. Kami
tidak suka mendustai diri kami sendiri”. Setelah mereka mengadukan perkara
itu kepada Nabi SAW. turunlah ayat: “jika diketahui bahwa kedua
saksi itu berbuat dosa...” maka nabi SAW memerintahkan dua
orang laki-laki dan keluarga pemilik untuk bersumpah atas apa yang mereka
berdua sembunyikan dan miliki.
Setelah kejadian ini, Tamim ad-Dari memeluk islam
serta membaiatkan diri kepada Nabi. Ketika itulah dia merasa berdosa atas
perbuatannya tersebut dan selanjutnya dia mengaku dengan terus terang telah
mengambil bejana milik almarhum bersama kawannya.
Kemudian setelah mengakui perbuatannya,
Tamim menemui ahli waris budail dan menyerahkan uang sebanyak lima ratus
dirham dan sisanya masih sama temannya (Adi bin Bada’), kemudian berangkatlah
ahli waris Budail dan Adi menghadap Rasulullah SAW. Rasulullah meminta
bukti-bukti tuduhan terhadap Adi itu, tetapi mereka tidak dapat memenuhi
permintaan Rasulullah, kemudian Rasulullah menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia
pun bersumpah. Seperti telah dijelaskan di depan tadi Allah menurunkan QS .5
al-Maidah :106-108.[2]
D.
Makna Mufrodat
Dalam surat al-Maidah ayat 106-108 terdapat
beberapa kata yang menjadi kata kunci dalam penafsiran dan memahami kandungan
ayat tentang wasiat ini, yaitu:[3]
شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ : kalimat berita yang
bermakna perintah yang artiya hendaklah disaksikan. Mengidzofahkan lafadz
syahadah kepada lafadz baina menunjukkan makna keluasan memilih.
الْمَوْتُ : tanda-tanda kematian
الْوَصِيَّةُ : berwasiat menunjukkan hukum wajib jika ia syartiyah
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ
: oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang selain kamu, dipahami
dalam arti bahwa kamu hai kaum beriman. Pemahaman ini berawal dari redaksi yang
berawal dengan ajakan kepada orang-orang beriman. Ada juga yang memahami dalam
arti “dua orang diantara suku atau kabilah kamu, dan jika tidak ditemukan maka
dua orang selain suku dan kabilah kamu”.
إِنِ ارْتَبْتُمْ : kalau kamu ragu terhadap kebenaran keduanya pada
apa yang mereka tetapkan.
E.
Makna Ijmali
Wasiat adalah pesan memberikan harta secara
sukarela kepada sesorang (atau beberapa orang), selain ahli waris. Harta yang
diwasiatkan tidak boleh melebihi 1/3 harta yang dimiliki. Harta yang
diwasiatkan ini diberikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Surat al-Maidah ayat 106 menyebutkan bahwa
wasiat mesti disaksikan dengan dua orang saksi yang adil. Sedapat mungkin dua
orang saksi ini adalah dua orang muslim yang adil. Namun, jika tidak ada dua
orang muslim, misalnya dalam perjalanan atau berada di suatu tempat yang tidak
ada orang muslim, maka dua orang saksi tersebut boleh dari orang yang beragama
lain.
Surat al-Maidah ayat 107 menangani masalah jika
terjadi penghianatan atau kecurangan yang dilakukan oleh seorang atau kedua
saksi yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Jika kedua orang yang diangkat
menjadi saksi terhadap wasiat dan diserahkan kepadanya harta untuk disampaikan
kepada para pewaris, sedangkan keduanya pun dipercayai mereka dengan tidak
bersumpah, maka persoalan wasiat tidak perlu diragukan karena tujuan sumpah adalah untuk memperkuat
persaksian. Tetapi jika ada
keraguan, maka hendaklah kedua saksi tersebut ditahan agar tidak kemana-mana
sampai sembahyang ashar kemudian dilakukan sumpah. Jika penghianatan saksi dapat dibuktikan, maka kesaksian gugur dan
kesaksian dapat diganti oleh dua orang ahli waris yang berhak. Saksi dua orang
ahli waris inipun harus diambil sumpah dengan teks sumpah yang telah tertera di
ayat ini.
Yang dimaksud shalat di sini adalah shalat Ashar,
karena Nabi menyumpah Adi dan Tamim sesudah waktu itu, karena merupakan
kebiasaan yang telah berlaku, dan karena waktu itulah yang biasa digunakan para
hakim untuk memutuskan berbagai persengketaan. Sebab pada waktu itu orang-orang
telah selesai mengerjakan sebagian besar pekerjaannya di waktu siang.
Diriwayatkan dari ibnu Abbas, jika kedua saksi itu bukan Muslim, maka yang
dimaksud dengan shalat di sini adalah upacara peribadatan yang berlaku dalam
agama mereka.[4]
Surat al-Maidah ayat 108 menjelaskan tentang orang
yang menjadi saksi mestilah menyadari bahwa kesaksian mereka sangat penting.
Bahwa yang menjadi saksi harus bersaksi dengan sebenarnya. Dalam hal ini
maksudnya adalah membenarkan apa yang diwasiatkan oleh pemberi wasiat. Tidak boleh
menyembunyikan kesaksian dan berkhianat atas kesaksian. Jika hal ini terjadi
maka saksi telah berbuat fasik.
F.
Kandungan Hukum
Secara ringkas, para ulama menyimpulkan beberapa
faedah dan hukum dari ayat ini antara lain:
a) Anjuran supaya berwasiat dan
tidak meremehkannya baik di dalam perjalanan maupun ketika bermukim.
b)
Mengadakan persaksian terhadapnya untuk menguatkan
perkaranya dan harapan akan pelaksanaannya.
c)
Penjelasan bahwa pokok mengenai dua orang saksi
atas wasiat itu adalah dua orang mukmin, yang keadilannya terpercaya.
d) Kesaksian dua orang bukan
muslim adalah boleh menurut syara’. Sebab maksud syar’i jika
pelaksanaannya secara sempurna tidak mungkin, maka tidak boleh ditinggalkan sama
sekali.
e)
Menekan orang yang bersumpah dengan kata-kata
sumpah yang keras, seperti mengatakan di dalam sumpah itu kata-kata yang dapat
menghindarkannya dari dusta.
f)
Yang menjadi pokok di dalam berita-berita dan
kesaksian manusia adalah benar dan dapat diterima karena itu disyaratkan di
dalam menyumpah dua orang saksi adanya kesangsian terhadap berita keduanya.
g)
Disyari’atkan menyumpah para saksi, jika para hakim
dan lawan bersengketa meragukan kesaksian mereka. Hal ini dipraktekkan oleh
kebanyakan bangsa pada masa sekarang. Bahkan perundang-undangan manusia telah
mewajibkannya, karena banyaknya kesaksian palsu.
h)
Disyari’atkan mengembalikan sumpah kepada orang
yang terbukti kehilangan haknya, melalui sumpah yang dengan sumpah itu orang
yang bersumpah menjadi lawan sengketanya.
i)
Jika diperlukan turut campurnya sebagian ahli waris
dalam perkara yang berkenaan dengan harta pusaka, maka yang lebih berhak atas
hal itu adalah orang yang paling dekat hubungannya kepada orang yang meninggal.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Wasiat mesti disaksikan dengan dua orang saksi, sedapat mungkin dua orang saksi ini adalah dua
orang muslim yang adil.
2. Jika kesaksian kedua
orang yang diangkat menjadi saksi terhadap wasiat dipercayai dengan tidak
bersumpah, maka persoalan wasiat tidak perlu diragukan karena tujuan sumpah adalah untuk memperkuat
persaksian. Tetapi jika ada
keraguan, maka hendaklah kedua saksi tersebut ditahan dan kemudian disumpah.
3. Orang yang menjadi
saksi mestilah menyadari bahwa kesaksian mereka sangat penting. Bahwa yang
menjadi saksi harus bersaksi dengan sebenarnya.
[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an) (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Hal. 229
[2] Q. Saleh , A.A Dahlan.
Dkk., Asbabul
Nuzul, latar
belakang historis turunnya ayat-ayat Al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 2009) Hal. 210
[3] Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, Terjemah Tafsir Al-Maraghiy, Juz VII (Semarang: Toha Putra Semarang, 1987), Hal. 77
[4] Ibid, Hal. 80
[5] Ibid, Hal. 77
Alhamdulillah, artikelnya membantu sekali. Terimakasih sekali, saya jadi terinspirasi untuk ikut menghidupkan al Qur'an di dunia maya. ini salah satu tulisan sederhana terkait dengan QS al Ma'idah ayat 3 http://asbabunnuzulquran.blogspot.com/2014/06/asbabunnuzul-qs-al-maidah-5-3.html
ReplyDelete