PERADILAN ISLAM PADA MASA
DINASTI BANI
UMAYYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muawiyah bin Abu Sufyan
adalah sosok manusia yang cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung yang
mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah
dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dialah pendiri
dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad 7 H.
Muawiyah berhasil
membangun pemerintahan melebihi apa yang telah dibangun oleh saudaranya,
Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Byzantium, dinastinya
mampu memperluas kekuasaan Islam yang tidak bias dilakukan oleh pemimpin Islam
sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar itu seperti Muawiyah I, Abdul
Malik, Al-Walid I, dan Umar bin Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang
melahirkan peradaban Islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya
sebuah kekuasaan pada akhirnya mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan
dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah pemerintahannya, kekuasaan dinasti Umayyah semakin surut dan mengalami
kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para
pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasyah, Syi'ah dan kelompok
Khurasan.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja yang menjadi konsep peradilan bani
Umayyah?
2.
Bagaimana sistem pemerintahan bani Umayyah?
3.
Seperti apa bentuk peradilan bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran
Dinasti Umayyah (41-132 H / 661-740 M)
Daulah bani Umayyah berdiri sejak runtuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu
Sufyan tidak sutuju terhadap Ali sebagai penguasa pemerintahan Islam. Ia
melakukan perlawanan terhadap Ali dengan tujuan untuk merebut kekuasaannya.
Muawiyah berhasil merebut pada tahun 661 M. Kemudian Muawiyah memproklamirkan
dirinya sebagai khalifah pemerintahan Islam yang sah.
Berdirinya daulah Umayyah tahun 661 M. Sistem
pemerintahan khalifahpun dirubah, yang semula dengan cara demokrasi diganti
dengan sistem turun-temurun. Dalam Islam dikenal sebagai daulah Islamiyah yang
berarti kekuasaan Islam yang berciri ke-dinasti-an atau Ashobiyah.[1]
Peradilan Islam bani Umayyah memberikan hak dan
perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan
kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan
kesewenangan. Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga hakim (Qothil /
Qudhah). Seorang hakim (qadhi) memutuskan perkara dengan ijtihadnya.
Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Disamping itu
kehakiman itu tidak terpengaruh dengan politik.[2]
B.
Konsep Peradilan Islam Daulah Umayyah
Masa daulah Umayyah dalam memutuskan suatu perkara
tidak jauh beda dengan masa-masa Khulafaurrasyiddin. Ia memiliki konsep
yang menjadi dasar suatu keputusan yaitu:
1.
Al-Qur'an
2.
As-Sunnah
3.
Ijtihad, ini dilakukan apabila di dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah tidak ditemukan.
4.
Bantuan para Qadhi yang hidup pada masa
itu. Ini dilakukan karena dalam berijtihad tidak ditemukan suatu kesepakatan
terhadap masalah tertentu.
5.
Suatu keputusan dilakukan oleh Khalifah sendiri. Artinya
sebuah keputusan yang telah disepakati para hakim itu diserahkan kepada
Khalifah, lalu Khalifah akan melaksanakan sebuah keputusan tersebut terhadap
terdakwa.
6.
Ancaman yang keras terhadap orang yang melanggar
aturan yang telah ditetapkan.
7.
Memberikan hak dan perlindungan.
C.
Sistem Peradilan Islam Daulah Umayyah
Sistem peradilan Islam pada masa bani Umayyah:
1.
Khalifah sendiri yang mengangkat Qadli yang
ditugaskan di Ibukota. Sedangkan Qadhi yang bertugas di daerah
diserahkan kepada penguasa daerah.
2.
Qadhi bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, namun secara
hirarki tetap dibawah Khalifah dan wakilnya.
3.
Qadhi dibatasi wewenangnya hanya memutuskan perkara dalam urusan khusus. Pada
eksistensinya semua masalah yang memerlukan keputusan tidak diserahkan pada Qadhi.
Qadhi hanya menangani kasus atau masalah baru yang belum ada hukumnya
dan kasus tersebut belum pernah terjadi
(kajian terhadap masalah baru).
4.
Yang dijadikan Qadhi seorang Mujtahid.
Sehingga tidak ada hakim yang memegang suatu pendapat tertentu. Jadi keputusan
tersebut benar-benar hasil mufakat ijtihad.
5.
Keputusan hukum yang murni dan berwibawa. Hal
tersebut dipengaruhi adanya faktor:
a.
Keputusan tidak dicampuri dengan urusan pribadi (non
money politic).
b.
Pengawasan yang ketat dari Khalifah terhadap
keputusan-keputusan yang mereka keluarkan.
c.
Adanya ancaman dan pemecatan bagi Qadhi
yang melanggar.
6.
Belum dikenal adanya pencatatan dalam pengadilan.[3]
Artinya hukum yang belum tertulis, maka apabila
ada perkara, cara pengajuannya adalah:
d.
Perkara atau kasus diajukan ke Qadhi.
e.
Qadhi meneliti kasus tersebut.
f.
Terdakwa dihadapkan ke Qadhi.
g.
Qadhi menyampaikan keputusan terhadap Khalifah.
a.
Khalifah melaksanakan hasil keputusan terhadap
terdakwa.
D.
Bentuk-Bentuk Pengadilan Pada Masa Umayyah
Dalam peradilan dunia peradilan Islam terutama
pada masa dinasti Umayyah ada tiga kekuasaan kehakiman yang dikenal, yaitu:
1.
Pengadilan Al-Qadha
Kata Al-Qadha secara harfiah berarti
"memutuskan atau menetapkan", sedangkan menurut istilah fikih, Al-Qadha
berarti menetapkan hukum syara' pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara
perdata (termasuk di dalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat).
Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan
wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya
menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul-maal dan lainnya.
Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut Qadhi
hakim. Misalnya Qadhi syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua
periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyiddin dan awal
pemerintahan bani Umayyah.
2.
Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi negara ini wewenang utamanya
adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut
sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara
yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar,
menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas
kendaraan. Asal-muasal lahirnya pengadilan ini berakar dari praktek Rasulullah
SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual
bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata:
"Mengapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?".
Kemudian beliau melanjutkan dengan memberi nasehat: "Hai orang-orang!
Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barangsiapa berlaku
curang, maka ia bukanlah dari pihak kami". (Al-Hadits).
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW
mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan / pengadilan hisbah ini mulai
melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian berkembang pada
masa bani Umayyah.
3.
Pengadilan Al-Madzalim
Kata Al-Madzalim adalah jama' dari Al-Madzlamat
yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang diambil oleh orang dzalim
dari tangan seseorang. Jadi pengadilan itu dibentuk oleh pemerintah khusus
membela orang-orang madzlum (teraniaya) akibat sikap semena-mena dari
pembesar / pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaiannya sulit
untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (Al-Qadha), dan pengadilan (Al-Hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara suap dan
tindakan korupsi. Orang yang menangani / menyelesaikan perkara ini disebut wali
al-madzalim. Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan
tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal
yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang
terlibat dalam sengketa. Dalam pelaksanaannya, bentuk seperti ini sudah
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga
secara khusus baru didirikan pada masa pemerintahan bani Umayyah, terutama pada
masa Abdul Malik bin Marwan. Menurut Mawardi dalam kitabnya al-ahkam
al-sulthaniyatwa al-walayat al-diniyat, Abdul Malik bin Marwan adalah orang
pertama yang menjalankan / mendirikan lembaga pengadilan al-madzalim
dalam pemerintahannya.
Demikian halnya pada masa pemerintahan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz, yang pertama kali ia lakukan adalah mengutus dan membela
harta rakyat yang pernah didzalimi oleh para pejabat / penguasa sebelumnya.
E.
Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah
1.
Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H /
661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu
Sufyan. Ibunya, Hindun binti Rubai'ah binti Abdi Syam. Sebagaimana disebutkan
di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang seorang politisi ulung dan pendiri
dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena
jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan
sampai 91 tahun.
Demi kelancaran jalannya pemerintahan baik
ekonomi, politik, dan sosial, ia menegakkan keadilan dengan mendirikan berbagai
lembaga peradilan dengan menunjuk Mujtahid untuk dijadikan hakim. Dalam diri
Muawiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi
(dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis
biografinya, nilai utamanya yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan
luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai
gantinya lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan
kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum
musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat
tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan
daerah Islam:
a.
Penciptaan stabilitas nasional. Pada masa
pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan
kecil saja.
b.
Pendirian departemen pencatatan administrasi
negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan
Islam.
c.
Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan
wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara
pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda
dan keledai.
d.
Pembangunan departemen pemungutan pajak.
Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.
Muawiyah meninggal pada bulan april tahun 60 H /
679 M. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh
pada zamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak
para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang
sudah dibangunnya.
2.
Yazid bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)
Namanya Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia
khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibaiat langsung oleh ayahnya untuk
menggantikannya.pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem
politik Islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun-temurun
(Monarki) dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaiatnya, namun ibn
Zubair, ibn Abu Bakar, ibn Abbas, ibn Umar dan Husein bin Ali tidak mau
membaiatnya. Namun karena dipaksa untuk membaiat, tokoh-tokoh tersebut kecuali
ibn Zubair dan Husein akhirnya membaiat Yazid sebagai pemimpin pemerintahan.
Moralitas kepemimpinannya sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang
Yazid. Bahkan pada masa pemerintahannya, terjadi dua tragedi yang mencoreng
sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang
sangat bengis, Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husein
beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husein dan pengikutnya
dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husein diserahkan kepada pemimpinnya,
Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena
Abdullah ibn Zubair tidak mau membaiat Yazid. Ibn Zubair malah mengumumkan
pencopotan Yazid di Madinah dan membaiat dirinya sendiri sebagai pemimpin
pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok ibn Zubair.
Ratusan sahabat ibn Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan
pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
Dari fakta di atas bahwa sistem peradilannya sudah
mulai melemah. Ia tidak mampu lagi menghentikan berbagai masalah dengan jalan
diplomasi. Hakim yang semula taat dan tunduk terhadap aturan kini sebaliknya
bermain-main dengan aturan.
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M
dengan masa kepemimpinannya selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya
moralitas seorang pemimpin pemerintah Islam.
3.
Muawiyah bin Yazid (64 H / 683 M)
Khalifah ketiga dinasti Umayyah ini tidak banyak
diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia
menggantikan ayahnya sebagai raja, namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia
meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga dinasti Umayyah.
4.
Marwan ibn Hakam (64-65 H / 683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah
Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada
saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih
mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini
menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suriah,
Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj
(Makkah dan Madinah).
5.
Abdul Malik bin Marwan (73-86 H / 692-702 M)
Abdul Malik bin Marwan merupakan tokoh yang menata
kembali pemerintahan dengan tujuan agar kekuasaan bisa berfungsi sebagaimana
semestinya. Ia merintis lagi sistem peradilan Islam dengan cara yang tidak jauh
beda dengan Muawiyah. Beberapa kemajuan pada masa Abdul Malik adalah membangun
nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab
menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H /
705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.
6.
Walid ibn Abdul Malik (86-96 H / 705-714 M)
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung
pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah
dalam skala besar, diantaranya membangun masjid Damaskus, Qubbat al-Shakhrah di
Yerusalem dan memperluas masjid Nabawi.
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur
yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan Islam diperluas.
Pasukannya berhasil menaklukkan Sisilia dan Merovits, Afrika dan Andalusia di
bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar Islam asal Barbar,
yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H
/ 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan
panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India
pun berhasil ditaklukkan dibawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi.
Penaklukan ini menjadikan wilayah Islam semakin luas.
Walid berkuasa sampai tahun 96 H / 714 M. Ia salah
satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun
peradaban Islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa
yang telah dilakukannya.
7.
Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M)
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk
menjadi pemimpin pemerintahan Islam. Ia saudara laki-laki Walid. Namun Walid
telah bersekongkol untuk menurunkan Sulayman dari jabatannya dan menunjuk anak
pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikan. Tidak banyak yang bisa
dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk
menunjuk Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi
karya Sulayman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H / 717 M.
8.
Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H / 717-719 M)
Masa pemerintahannya relatif singkat, yaitu
sekitar tiga tahun, namun banyak perubahan yang lakukan. Diantaranya ia
melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syi'ah
sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama dinasti Umayyah.
Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada zamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Bahwa sistem peradilan pada masa khalifah Umar ibn
Abdul Aziz dianggap sukses menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Khulafaurrasyiddin sebelumnya yakni dapat menegakkan
keadilan di wilayah al-Qadha, wilayah al-Hisbah dan al-Madzalim serta
menempatkan hakim lebih mulia daripada seorang gubernur. Ternyata hasilnya
mereka dapat merasakan perlakuan hukum secara adil tanpa ada tebang pilih
antara satu dengan lainnya. Pada masa pemerintahannya, tidak ada perluasan daerah
yang berarti. Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan dengan cara
imperealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim
para mubaligh ke daerah kekuasaan Islam, yang otoritas agamanya bukan Islam.
Demikian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yang
pertama kali ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah
didzalimi oleh para pejabat / penguasa sebelumnya.
9.
Yazid ibn Abdul Malik (101-105 H / 719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar
"dihancurkan" oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan
suka menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Penguasa yang
satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan
rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada
masanya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis
politik, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn
Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah
berikutnya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.
Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H / 723-742 M)
Beliau memimpin selama hampir dua puluh tahun
memerintah, negara mengalami kemerosotan dan memelah. Hal ini disebabkan
banyaknya rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn
Husein sebagai refresentasi dari kelompok Syi'ah Zaidiyah dan seruan
pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik
orang-orang Arab dan Arab utara.
Dari fakta di atas, maka dapat ditarik benang
merah, kalau sistem peradilan khalifah Hisyam tidak begitu berfungsi.
11.
Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik / Walid II
(125-126 H / 742-743 M)
Penerus Hisyam, Walid ibn Yazid tidak mampu
mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Keadaan pemerintahan menjadi
lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup
ayahnya dan ia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara
sepupunya, Yazid ibn al-Walid yang kelak menjadi pengganti Walid memerintahkan
untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah,
Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia menggantikan kedudukan
Walid.
12.
Yazid ibn Walid / Yazid III (126 H / 743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintah semakin kacau.
Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya
Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha'un setelah memerintah selama enam
bulan.
13.
Ibrahim ibn Walid ibn Abdul Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena
itu, ada yang tidak memasukkannya sebagai salah satu khalifah dinasti Umayyah.
Pada masanya, tanda-tanda dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara
keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk
mempertanggungjawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak
Ibrahim. Ia melarikan diri ke Damaskus.
14.
Marwan ibn Muhammad ibn Marwan / Marwan II
(127-132 H / 744-749 M)
Setelah dibaiat sebagai raja, ia mencoba
memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan
roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak,
sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, akan tetapi menjadi hancur.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sistem peradilan Islam pada masa bani Umayyah:
a. Khalifah sendiri yang
mengangkat Qadli yang ditugaskan di Ibukota.
b. Qadhi bekerja tanpa pengawasan dan
masing-masing berdiri sendiri
c. Qadhi dibatasi wewenangnya hanya memutuskan
perkara dalam urusan khusus
d. Yang dijadikan Qadhi
seorang Mujtahid
e. Keputusan hukum yang
murni dan berwibawa
f. Belum dikenal adanya
pencatatan dalam pengadilan
2.
Bentuk-Bentuk Pengadilan Pada Masa Umayyah
a.
Pengadilan Al-Qadha
b.
Pengadilan Al-Hisbah
c.
Pengadilan Al-Madzalim
B.
Saran
Selanjutnya saran dan kritik yang produktif sangat
kami harapkan dalam memperbaiki eksistensi uraian tentang aliran kalam ini.
Mudah-mudahan kita selalu dalam naungan-Nya.
No comments:
Post a Comment