Jan 12, 2014

Makalah - Peradilan Pada Masa Dinasti Bani Umayyah


PERADILAN ISLAM PADA MASA

DINASTI BANI UMAYYAH






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah sosok manusia yang cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dialah pendiri dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad 7 H.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah dibangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Byzantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan Islam yang tidak bias dilakukan oleh pemimpin Islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar itu seperti Muawiyah I, Abdul Malik, Al-Walid I, dan Umar bin Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban Islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan pada akhirnya mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan dinasti Umayyah semakin surut dan mengalami kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasyah, Syi'ah dan kelompok Khurasan.
B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa saja yang menjadi konsep peradilan bani Umayyah?
2.      Bagaimana sistem pemerintahan bani Umayyah?
3.      Seperti apa bentuk peradilan bani Umayyah?









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kelahiran Dinasti Umayyah (41-132 H / 661-740 M)
Daulah bani Umayyah berdiri sejak runtuhnya  khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu Sufyan tidak sutuju terhadap Ali sebagai penguasa pemerintahan Islam. Ia melakukan perlawanan terhadap Ali dengan tujuan untuk merebut kekuasaannya. Muawiyah berhasil merebut pada tahun 661 M. Kemudian Muawiyah memproklamirkan dirinya sebagai khalifah pemerintahan Islam yang sah.
Berdirinya daulah Umayyah tahun 661 M. Sistem pemerintahan khalifahpun dirubah, yang semula dengan cara demokrasi diganti dengan sistem turun-temurun. Dalam Islam dikenal sebagai daulah Islamiyah yang berarti kekuasaan Islam yang berciri ke-dinasti-an atau Ashobiyah.[1]
Peradilan Islam bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga hakim (Qothil / Qudhah). Seorang hakim (qadhi) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Disamping itu kehakiman itu tidak terpengaruh dengan politik.[2]

B.     Konsep Peradilan Islam Daulah Umayyah
Masa daulah Umayyah dalam memutuskan suatu perkara tidak jauh beda dengan masa-masa Khulafaurrasyiddin. Ia memiliki konsep yang menjadi dasar suatu keputusan yaitu:
1.    Al-Qur'an
2.    As-Sunnah
3.    Ijtihad, ini dilakukan apabila di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ditemukan.
4.    Bantuan para Qadhi yang hidup pada masa itu. Ini dilakukan karena dalam berijtihad tidak ditemukan suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu.
5.    Suatu keputusan dilakukan oleh Khalifah sendiri. Artinya sebuah keputusan yang telah disepakati para hakim itu diserahkan kepada Khalifah, lalu Khalifah akan melaksanakan sebuah keputusan tersebut terhadap terdakwa.
6.    Ancaman yang keras terhadap orang yang melanggar aturan yang telah ditetapkan.
7.    Memberikan hak dan perlindungan.

C.      Sistem Peradilan Islam Daulah Umayyah
Sistem peradilan Islam pada masa bani Umayyah:
1.    Khalifah sendiri yang mengangkat Qadli yang ditugaskan di Ibukota. Sedangkan Qadhi yang bertugas di daerah diserahkan kepada penguasa daerah.
2.    Qadhi bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, namun secara hirarki tetap dibawah Khalifah dan wakilnya.
3.    Qadhi dibatasi wewenangnya hanya memutuskan perkara dalam urusan khusus. Pada eksistensinya semua masalah yang memerlukan keputusan tidak diserahkan pada Qadhi. Qadhi hanya menangani kasus atau masalah baru yang belum ada hukumnya dan kasus  tersebut belum pernah terjadi (kajian terhadap masalah baru).
4.    Yang dijadikan Qadhi seorang Mujtahid. Sehingga tidak ada hakim yang memegang suatu pendapat tertentu. Jadi keputusan tersebut benar-benar hasil mufakat ijtihad.
5.    Keputusan hukum yang murni dan berwibawa. Hal tersebut dipengaruhi adanya faktor:
a.    Keputusan tidak dicampuri dengan urusan pribadi (non money politic).
b.    Pengawasan yang ketat dari Khalifah terhadap keputusan-keputusan yang mereka keluarkan.
c.    Adanya ancaman dan pemecatan bagi Qadhi yang melanggar.
6.    Belum dikenal adanya pencatatan dalam pengadilan.[3]
Artinya hukum yang belum tertulis, maka apabila ada perkara, cara pengajuannya adalah:
d.   Perkara atau kasus diajukan ke Qadhi.
e.    Qadhi meneliti kasus tersebut.
f.     Terdakwa dihadapkan ke Qadhi.
g.    Qadhi menyampaikan keputusan terhadap Khalifah.
a.    Khalifah melaksanakan hasil keputusan terhadap terdakwa.
D.      Bentuk-Bentuk Pengadilan Pada Masa Umayyah
Dalam peradilan dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti Umayyah ada tiga kekuasaan kehakiman yang dikenal, yaitu:
1.    Pengadilan Al-Qadha
Kata Al-Qadha secara harfiah berarti "memutuskan atau menetapkan", sedangkan menurut istilah fikih, Al-Qadha berarti menetapkan hukum syara' pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk di dalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul-maal dan lainnya. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut Qadhi hakim. Misalnya Qadhi syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyiddin dan awal pemerintahan bani Umayyah.


2.    Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal-muasal lahirnya pengadilan ini berakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata: "Mengapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?". Kemudian beliau melanjutkan dengan memberi nasehat: "Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barangsiapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami". (Al-Hadits).
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan / pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian berkembang pada masa bani Umayyah.
3.    Pengadilan Al-Madzalim
Kata Al-Madzalim adalah jama' dari Al-Madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang diambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan itu dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniaya) akibat sikap semena-mena dari pembesar / pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaiannya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (Al-Qadha), dan pengadilan (Al-Hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara suap dan tindakan korupsi. Orang yang menangani / menyelesaikan perkara ini disebut wali al-madzalim. Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa. Dalam pelaksanaannya, bentuk seperti ini sudah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru didirikan pada masa pemerintahan bani Umayyah, terutama pada masa Abdul Malik bin Marwan. Menurut Mawardi dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniyatwa al-walayat al-diniyat, Abdul Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan / mendirikan lembaga pengadilan al-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikian halnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang pertama kali ia lakukan adalah mengutus dan membela harta rakyat yang pernah didzalimi oleh para pejabat / penguasa sebelumnya.
E.       Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah
1.         Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H / 661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunya, Hindun binti Rubai'ah binti Abdi Syam. Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang seorang politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun.
Demi kelancaran jalannya pemerintahan baik ekonomi, politik, dan sosial, ia menegakkan keadilan dengan mendirikan berbagai lembaga peradilan dengan menunjuk Mujtahid untuk dijadikan hakim. Dalam diri Muawiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utamanya yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah Islam:
a.    Penciptaan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
b.    Pendirian departemen pencatatan administrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan Islam.
c.    Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
d.   Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.
Muawiyah meninggal pada bulan april tahun 60 H / 679 M. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada zamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2.         Yazid bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)
Namanya Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibaiat langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya.pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik Islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun-temurun (Monarki) dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaiatnya, namun ibn Zubair, ibn Abu Bakar, ibn Abbas, ibn Umar dan Husein bin Ali tidak mau membaiatnya. Namun karena dipaksa untuk membaiat, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husein akhirnya membaiat Yazid sebagai pemimpin pemerintahan. Moralitas kepemimpinannya sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Bahkan pada masa pemerintahannya, terjadi dua tragedi yang mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husein beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husein dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husein diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membaiat Yazid. Ibn Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di Madinah dan membaiat dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok ibn Zubair. Ratusan sahabat ibn Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
Dari fakta di atas bahwa sistem peradilannya sudah mulai melemah. Ia tidak mampu lagi menghentikan berbagai masalah dengan jalan diplomasi. Hakim yang semula taat dan tunduk terhadap aturan kini sebaliknya bermain-main dengan aturan.
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinannya selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintah Islam.
3.         Muawiyah bin Yazid (64 H / 683 M)
Khalifah ketiga dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja, namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga dinasti Umayyah.
4.         Marwan ibn Hakam (64-65 H / 683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suriah, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (Makkah dan Madinah).
5.         Abdul Malik bin Marwan (73-86 H / 692-702 M)
Abdul Malik bin Marwan merupakan tokoh yang menata kembali pemerintahan dengan tujuan agar kekuasaan bisa berfungsi sebagaimana semestinya. Ia merintis lagi sistem peradilan Islam dengan cara yang tidak jauh beda dengan Muawiyah. Beberapa kemajuan pada masa Abdul Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H / 705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.
6.         Walid ibn Abdul Malik (86-96 H / 705-714 M)
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam skala besar, diantaranya membangun masjid Damaskus, Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas masjid Nabawi.
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan Islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukkan Sisilia dan Merovits, Afrika dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar Islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukkan dibawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah Islam semakin luas.
Walid berkuasa sampai tahun 96 H / 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban Islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.

7.         Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M)
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan Islam. Ia saudara laki-laki Walid. Namun Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulayman dari jabatannya dan menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikan. Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulayman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H / 717 M.
8.         Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H / 717-719 M)
Masa pemerintahannya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahun, namun banyak perubahan yang lakukan. Diantaranya ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syi'ah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada zamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Bahwa sistem peradilan pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz dianggap sukses menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khulafaurrasyiddin sebelumnya yakni dapat menegakkan keadilan di wilayah al-Qadha, wilayah al-Hisbah dan al-Madzalim serta menempatkan hakim lebih mulia daripada seorang gubernur. Ternyata hasilnya mereka dapat merasakan perlakuan hukum secara adil tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya. Pada masa pemerintahannya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan dengan cara imperealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubaligh ke daerah kekuasaan Islam, yang otoritas agamanya bukan Islam. Demikian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yang pertama kali ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah didzalimi oleh para pejabat / penguasa sebelumnya.
9.         Yazid ibn Abdul Malik (101-105 H / 719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar "dihancurkan" oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada masanya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politik, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.     Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H / 723-742 M)
Beliau memimpin selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemerosotan dan memelah. Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husein sebagai refresentasi dari kelompok Syi'ah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab dan Arab utara.
Dari fakta di atas, maka dapat ditarik benang merah, kalau sistem peradilan khalifah Hisyam tidak begitu berfungsi.
11.     Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik / Walid II (125-126 H / 742-743 M)
Penerus Hisyam, Walid ibn Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya dan ia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid yang kelak menjadi pengganti Walid memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia menggantikan kedudukan Walid.
12.     Yazid ibn Walid / Yazid III (126 H / 743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintah semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha'un setelah memerintah selama enam bulan.
13.     Ibrahim ibn Walid ibn Abdul Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukkannya sebagai salah satu khalifah dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggungjawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri ke Damaskus.
14.     Marwan ibn Muhammad ibn Marwan / Marwan II (127-132 H / 744-749 M)
Setelah dibaiat sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, akan tetapi menjadi hancur.[4]










BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Sistem peradilan Islam pada masa bani Umayyah:
a.    Khalifah sendiri yang mengangkat Qadli yang ditugaskan di Ibukota.
b.    Qadhi bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri
c.    Qadhi dibatasi wewenangnya hanya memutuskan perkara dalam urusan khusus
d.   Yang dijadikan Qadhi seorang Mujtahid
e.    Keputusan hukum yang murni dan berwibawa
f.     Belum dikenal adanya pencatatan dalam pengadilan
2.         Bentuk-Bentuk Pengadilan Pada Masa Umayyah
a.    Pengadilan Al-Qadha
b.    Pengadilan Al-Hisbah
c.    Pengadilan Al-Madzalim
B.       Saran
Selanjutnya saran dan kritik yang produktif sangat kami harapkan dalam memperbaiki eksistensi uraian tentang aliran kalam ini. Mudah-mudahan kita selalu dalam naungan-Nya.




[1] Abu Su'ud, Islamologi, cet I (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Hal. 66
[2] http://shootjustice.blogspot.com/2009/02/peradilan-masa-umayyah.html
[3] Ibid
[4] http:\\education-dinasti-umayyah.worpress.com

No comments:

Post a Comment