PERAN WALI DAN KEBEBASAN WANITA DALAM
PERKAWINAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai
berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi hukum-hukum
agamanya, mulai dari yang paling “ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan” .
Ekstrim kiri yang dimaksud adalah negara-negara muslim yang sangat kental
dengan faham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan
negara. Sedangkan ekstrim kanan merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan
berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma
hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sistem sosial
yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam.
Di beberapa kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum
keluarga. Sebab hukum keluarga dirasakan sebagai garda terdepan dalam pembinaan
masyarakat muslim yang diawali dari pembentukan keluarga sakinah. Pembinaan
masyarakat muslim yang paling awal berasal dari keluarga, dengan asumsi bahwa
keluarga yang sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan memberikan
kontribusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta dalam komunitas yang
lebih besar.
Di beberapa negara muslim, peraturan perkawinan ada yang
mengharuskan adanya wali nikah dan ada yang menerapkan bahwa peran wali tidak
begitu penting karena yang menjalani pernikahan adalah mempelai itu sendiri. Untuk
membatasi pembahasan makalah ini, kami akan membahas sekilas tentang peran wali
dan kebebasan perempuan dalam perkawinan di negara Indonesia dan Tunisia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran wali nikah dan kebebasan perempuan dalam perkawinan
di negara Indonesia?
2.
Bagaimana peran wali nikah dan kebebasan perempuan dalam perkawinan
di negara Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Wali dan
Kebebasan Perempuan dalam Perkawinan di Negara Indonesia
Wali nikah adalah seseorang yang ditetapkan sebagai wali menurut
hukum dari pihak calon mempelai perempuan untuk melakukan akad pernikahan
(ijab). UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui pasal 2 ayat (1)
menunjuk hukum Islam -bagi umat Islam Indonesia- sebagai indikasi sah atau
tidaknya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan. Kajian mengenai
kedudukan wali dan atau wali hakim sebagai wali nikah secara materiil tidak
dijumpai dalam UU Perkawinan, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1) di atas kajian
kedudukan wali dan atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang
telah diserap menjadi hukum positif di Indonesia, terutama yang menyangkut
dengan hukum keluarga bidang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI);
Oleh karenanya, kajian mengenai kedudukan wali hakim dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan tidak terlepas dari kajian mengenai wilayah pernikahan
menurut hukum Islam (KHI). Di dalam KHI keberadaan wali nikah mutlak diperlukan
apakah ia Wali Nasab ataupun Wali Hakim, baik pada perkawinan gadis maupun
ataupun janda; dewasa ataupun belum dewasa dan sekaligus wali sebagai pelaksana
ijab akad nikah dalam perkawinan itu. Dengan demikian kedudukan wali hakim
dalam UU Perkawinan cenderung dengan hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan wali dan atau wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan, yang tadinya secara tekstual tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun secara faktual dalam penerapannya wali nikah menjadi syarat sah dan pelaksana ijab akad nikah dalam pelaksanaan perkawinan. Wali nikah boleh jadi wali hakim. Oleh karena itu Wali Hakim berperan sebagai pengganti dari wali nasab ketika terhalang dalam pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, atau menolak untuk melaksanakan ijab akad nikah (adlal) dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam konteks ke-Indonesia-an dan peraturan perundang-undangan Wali Hakim dipangku oleh KUA Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berfungsi sebagai pencatat perkawinan. Sebagai PPN juga mengawasi jalannya pelaksanaan pekawinan, baik yang berkaitan dengan administrasinya maupun yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan agar perlakuan tidak jujur dalam pencatatan perkawinan baik secara administrasi apalagi menurut hukum agama dapat dihindari.[1]
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan wali dan atau wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan, yang tadinya secara tekstual tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun secara faktual dalam penerapannya wali nikah menjadi syarat sah dan pelaksana ijab akad nikah dalam pelaksanaan perkawinan. Wali nikah boleh jadi wali hakim. Oleh karena itu Wali Hakim berperan sebagai pengganti dari wali nasab ketika terhalang dalam pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, atau menolak untuk melaksanakan ijab akad nikah (adlal) dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam konteks ke-Indonesia-an dan peraturan perundang-undangan Wali Hakim dipangku oleh KUA Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berfungsi sebagai pencatat perkawinan. Sebagai PPN juga mengawasi jalannya pelaksanaan pekawinan, baik yang berkaitan dengan administrasinya maupun yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan agar perlakuan tidak jujur dalam pencatatan perkawinan baik secara administrasi apalagi menurut hukum agama dapat dihindari.[1]
Dasar disyari’atkannya wali dalam pernikahan adalah ayat al-Qur’an,
Allah SWT berfirman “ Wa ankihuu al-ayyaama’ minkum wa al-shalihiina min
‘ibadikum wa imaa’ikum” dalam ayat yang lain Allah berfirman “Walaa tunkihuu
al-musyrikina hatta yu’minuu”. Abu Musa meriwayatkan Hadis yang diterima dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda “La nikaha illa biwaliyyin”. Dalam ayat
al-Qur’an dan al-Hadis, objek perintahnya ditujukan kepada wali bukan kepada
calon istri itu atau kepada yang lainnya.
Pendapat mayoritas menyatakan bahwa wali dalam setiap pernikahan adalah rukun, bila
pernikahan itu terjadi tanpa wali maka pernikahannya tidak sah menurut hukum
dan harus dinyatakan batal demi hukum, baik pernikahan seorang perempuan yang
masih perawan maupun janda, hal ini sesuai ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum
Islam dengan menyatakan “Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Menurut pendapat yang lain bukan rukun, tetapi hanya syarat saja dan berlaku
bagi calon istri yang masih perawan. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi
oleh perbedaan pendapat tentang filosofi fungsi wali dalam pernikahan, hal inilah
yang menyebabkan perbedaan penafsiran tentang ayat al-Qur’an maupun al-Hadits
yang berkaitan dengan wali nikah.
Di negara Indonesia, dalam menerapkan peraturan perkawinan bagi
umat Islam banyak mengacu pada madzhab Syafi’i. Imam Syafi‘i membuat
klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga
kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis
dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan
umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak
dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa
seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis.
Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar yang menikahkan Aisyah
kepada Nabi, dan umur Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak
(wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhum mukhalafah hadis
yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy-
Syafi‘i mafhum mukhalafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan
perkawinan anak gadisnya, meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si
anak gadis, namun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Asy-Syafi‘i
menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض
tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.
Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada
persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada
kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan
seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta
persetujuannya terlebih dahulu. Dengan demikian, hadis ini menurut beliau
menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan
ini diperkuat hadis lain. Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق
بنفسها berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya
dan tidak ada yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.
B. Peran Wali dan
Kebebasan Perempuan dalam Perkawinan di Negara Tunisia
Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam perkawinan. Hal ini
sesuai dengan UU Tunisia pasal 3: “Perkawinan hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan kedua mempelai, dan disaksikan dua orang saksi dan sejumlah mahar
untuk calon isteri”.[2]
Dari pasal ini tentang kebebasan perempuan dalam perundang-undangan
Tunisia dengan tegas mewajibkan persetujuan calon sehingga hak pilih kedua
calon sangat diperhatikan.
Adapun eksistensi wali baru diterima bila dalam kasus calon
pengantin yang masih dibawah umur kedewasaan. Artinya keberadaan dan
persetujuan wali diperlukan, bila wali menolak untuk memberikan persetujuan
maka persoalan ini diserahkan kepada pengadilan. Adapun tentang persoalan kafa’ah
sebagaimana yang disyaratkan konsep fiqh Abu Hanifah ketika dapat
menikah tanpa wali ternyata dalam kebiasaan di Tunisia sudah tidak berlaku
lagi. Kebebasan memilih calon pasangan serta merta telah meniadakan materi kafa’ah sebagaimana
yang diatur dalam fiqh klasik, kecuali pada hal yang memang secara
ekplisit sangat merugikan bagi perempuan.
Dalam penerapan undang-undang perkawinan, Tunisia mengacu pada
madzhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis
atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju,
maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah
bapak kandung mereka sendiri.
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam
perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa
Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis
tersebut tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam
kasus ini, al-Khansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni
dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada
saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?”
al-Khansa’ menjawab “ saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu
menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda / berpesan
“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. al-Khansa’ berkomentar, “bisa saja
aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa
bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya
dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak minta
keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.[3]
Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya
perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang
bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda
persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda
harus tegas.
Imam
Hanafi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih
toleran. Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan
berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda.
Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang
pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan
maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai
konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan
itu bahkan wali bisa meminta qadi
untuk membatalkan perkawinan itu.[4]
[1]
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/4801,
[2]
http://www.ahmadafandi.com/2012/12/islamic-family-law-rekonstruksi-hak.html,
[3]
http://batiksty.blogspot.com/2012/06/kebebasan-wanita-dalam-memilih-pasangan.html,
[4] Muhammad Jawad
al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V
(Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 345
No comments:
Post a Comment