Feb 8, 2014

Makalah Kawasan Perdata Islam - PERAN WALI DAN KEBEBASAN WANITA DALAM PERKAWINAN



PERAN WALI DAN KEBEBASAN WANITA DALAM PERKAWINAN



BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi hukum-hukum agamanya, mulai dari yang paling “ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan” . Ekstrim kiri yang dimaksud adalah negara-negara muslim yang sangat kental dengan faham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan ekstrim kanan merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam.
Di beberapa kawasan yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Sebab hukum keluarga dirasakan sebagai garda terdepan dalam pembinaan masyarakat muslim yang diawali dari pembentukan keluarga sakinah. Pembinaan masyarakat muslim yang paling awal berasal dari keluarga, dengan asumsi bahwa keluarga yang sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan memberikan kontribusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta dalam komunitas yang lebih besar.
Di beberapa negara muslim, peraturan perkawinan ada yang mengharuskan adanya wali nikah dan ada yang menerapkan bahwa peran wali tidak begitu penting karena yang menjalani pernikahan adalah mempelai itu sendiri. Untuk membatasi pembahasan makalah ini, kami akan membahas sekilas tentang peran wali dan kebebasan perempuan dalam perkawinan di negara Indonesia dan Tunisia.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran wali nikah dan kebebasan perempuan dalam perkawinan di negara Indonesia?
2.      Bagaimana peran wali nikah dan kebebasan perempuan dalam perkawinan di negara Indonesia?






BAB II

PEMBAHASAN


A.      Peran Wali dan Kebebasan Perempuan dalam Perkawinan di Negara Indonesia
Wali nikah adalah seseorang yang ditetapkan sebagai wali menurut hukum dari pihak calon mempelai perempuan untuk melakukan akad pernikahan (ijab). UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui pasal 2 ayat (1) menunjuk hukum Islam -bagi umat Islam Indonesia- sebagai indikasi sah atau tidaknya perkawinan menurut peraturan perundang-undangan. Kajian mengenai kedudukan wali dan atau wali hakim sebagai wali nikah secara materiil tidak dijumpai dalam UU Perkawinan, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1) di atas kajian kedudukan wali dan atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah diserap menjadi hukum positif di Indonesia, terutama yang menyangkut dengan hukum keluarga bidang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI); Oleh karenanya, kajian mengenai kedudukan wali hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terlepas dari kajian mengenai wilayah pernikahan menurut hukum Islam (KHI). Di dalam KHI keberadaan wali nikah mutlak diperlukan apakah ia Wali Nasab ataupun Wali Hakim, baik pada perkawinan gadis maupun ataupun janda; dewasa ataupun belum dewasa dan sekaligus wali sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan itu. Dengan demikian kedudukan wali hakim dalam UU Perkawinan cenderung dengan hukum Islam dalam Mazhab Syafi'i. 
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan wali dan atau wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan, yang tadinya secara tekstual tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun secara faktual dalam penerapannya wali nikah menjadi syarat sah dan pelaksana ijab akad nikah dalam pelaksanaan perkawinan. Wali nikah boleh jadi wali hakim. Oleh karena itu Wali Hakim berperan sebagai pengganti dari wali nasab ketika terhalang dalam pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, atau menolak untuk melaksanakan ijab akad nikah (adlal) dalam pelaksanaan perkawinan. Dalam konteks ke-Indonesia-an dan peraturan perundang-undangan Wali Hakim dipangku oleh KUA Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berfungsi sebagai pencatat perkawinan. Sebagai PPN juga mengawasi jalannya pelaksanaan pekawinan, baik yang berkaitan dengan administrasinya maupun yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan agar perlakuan tidak jujur dalam pencatatan perkawinan baik secara administrasi apalagi menurut hukum agama dapat dihindari.[1]
Dasar disyari’atkannya wali dalam pernikahan adalah ayat al-Qur’an, Allah SWT berfirman “ Wa ankihuu al-ayyaama’ minkum wa al-shalihiina min ‘ibadikum wa imaa’ikum” dalam ayat yang lain Allah berfirman “Walaa tunkihuu al-musyrikina hatta yu’minuu”. Abu Musa meriwayatkan Hadis yang diterima dari Rasulullah SAW, beliau bersabda “La nikaha illa biwaliyyin”. Dalam ayat al-Qur’an dan al-Hadis, objek perintahnya ditujukan kepada wali bukan kepada calon istri itu atau kepada yang lainnya.
Pendapat mayoritas menyatakan bahwa wali  dalam setiap pernikahan adalah rukun, bila pernikahan itu terjadi tanpa wali maka pernikahannya tidak sah menurut hukum dan harus dinyatakan batal demi hukum, baik pernikahan seorang perempuan yang masih perawan maupun janda, hal ini sesuai ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam dengan menyatakan “Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Menurut pendapat yang lain bukan rukun, tetapi hanya syarat saja dan berlaku bagi calon istri yang masih perawan. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat tentang filosofi fungsi wali dalam pernikahan, hal inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran tentang ayat al-Qur’an maupun al-Hadits yang berkaitan dengan wali nikah.
Di negara Indonesia, dalam menerapkan peraturan perkawinan bagi umat Islam banyak mengacu pada madzhab Syafi’i. Imam Syafi‘i membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar yang menikahkan Aisyah kepada Nabi, dan umur Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhum mukhalafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Syafi‘i mafhum mukhalafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya, meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, namun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Asy-Syafi‘i menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض  tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.
Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu. Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain. Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق بنفسها  berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah. 


B.       Peran Wali dan Kebebasan Perempuan dalam Perkawinan di Negara Tunisia
Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan UU Tunisia pasal 3: “Perkawinan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan kedua mempelai, dan disaksikan dua orang saksi dan sejumlah mahar untuk calon isteri”.[2]
Dari pasal ini tentang kebebasan perempuan dalam perundang-undangan Tunisia dengan tegas mewajibkan persetujuan calon sehingga hak pilih kedua calon sangat diperhatikan.
Adapun eksistensi wali baru diterima bila dalam kasus calon pengantin yang masih dibawah umur kedewasaan. Artinya keberadaan dan persetujuan wali diperlukan, bila wali menolak untuk memberikan persetujuan maka persoalan ini diserahkan kepada pengadilan. Adapun tentang persoalan kafa’ah sebagaimana yang disyaratkan konsep fiqh Abu Hanifah ketika dapat menikah tanpa wali ternyata dalam kebiasaan di Tunisia sudah tidak berlaku lagi. Kebebasan memilih calon pasangan serta merta  telah meniadakan materi kafa’ah sebagaimana yang diatur dalam fiqh klasik, kecuali pada hal yang memang secara ekplisit sangat merugikan bagi perempuan.
Dalam penerapan undang-undang perkawinan, Tunisia mengacu pada madzhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-Khansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “ saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda / berpesan “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. al-Khansa’ berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.[3]
Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.
Imam Hanafi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran. Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta qadi  untuk membatalkan perkawinan itu.[4]



[1] http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/4801,
[2] http://www.ahmadafandi.com/2012/12/islamic-family-law-rekonstruksi-hak.html,
[3] http://batiksty.blogspot.com/2012/06/kebebasan-wanita-dalam-memilih-pasangan.html,
[4] Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 345

No comments:

Post a Comment