Jan 31, 2014

KETIDAKADILAN GENDER 2

KETIDAKADILAN GENDER


A.      Kasus Gender
Sebuah keluarga yang dikepalai oleh Bapak Edi, tidak melakukan kewajibannya menjadi pelaku utama pencari nafkah dalam keluarga, tetapi hanya sebagai pembantu pencari nafkah yaitu membantu istrinya dalam menjalankan usahanya berjualan bakso. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh sang suami sebagai pencari nafkah utama tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan beban masalah ini harus perempuan (istri) yang mengerjakan. Istri tidak hanya dituntut untuk bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tapi juga harus bisa mengurusi semua hal yang berkaitan dengan keluarga, mulai dari memasak, mencuci pakaian, mengurus anak dan lainnya. Hal inilah yang menimpa pada keluarga ibu Sulis. Ibu dua anak ini, setiap harinya mencari nafkah keluarga dengan berjualan bakso di rumahnya, sedangkan suaminya memiliki lebih banyak waktu santai dan hanya membantu sekedarnya saja.

B.       Pembahasan
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa:
a.    Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
b.    Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Sejarah gender ini sebenarnya telah berlangsung lama, meskipun istilah gender belum dikenal saat itu. Sejak zaman pra sejarah perempuan dan laki-laki mempunyai peran tersendiri, namun dalam hal kebijakan laki-laki sangat dominan dan seiring dengan perkembangan zaman peran perempuan semakin meluas di segala sisi. Keterpurukan peran perempuan pada beberapa zaman seperti zaman jahiliah di Jazirah Arab juga menggambarkan betapa perempuan pada zaman dahulu dipandang sebelah mata.
Mansour Fakih (1997) dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menegaskan bahwa ketidakadilan gender dapat mengakibatkan: marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban berlipat.
1.    Marginalisasi perempuan
Marginalisasi merupakan proses pemiskinan perempuan terutama terhadap pada masyarakat lapisan bawah. Proses peminggiran kaum perempuan itu dapat terjadi dimana saja baik dalam lingkungan keluarga maupun di tengah masyarakat.
2.    Penempatan perempuan pada subordinasi
Pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan beranggapan bahwa perempuan itu tidak mampu berfikir rasional, tindakannya selalu berdasarkan emosional, lemah, tidak bisa mandiri, dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting.
3.    Stereotype perempuan
Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan negatif yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan.

4.    Kekerasan (Violence) terhadap perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender lainnya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomis, dan seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor, termasuk anggapan bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor kehidupan.
5.    Beban kerja yang tidak proporsional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya ia berhak untuk diatur oleh suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan perempuan seolah-olah identik dengan dirinya. Sementara, laki-laki dengan peran publiknya, menurut kebiasaan masyarakat (konstruk sosial), tidak bertanggung jawab terhadap beban kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.

C.      Analisa Kasus
Merujuk pada materi Hukum dan Gender, penulis berkesimpulan bahwa peran ganda yang dialami perempuan tersebut dapat dikategorikan sebagai Double Burden (beban berlebihan). Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari pada laki-laki. Suami sebagai kepala rumah tangga dan memiliki fisik lebih kuat dibandingkan dengan istrinya tidak menjalankan tugas layaknya kepala rumah tangga, namun justru istri yang menanggung beban rumah tangga ditambah lagi dengan pekerjaan rumah lainnya. Istri bekerja tidak sesuai dengan porsinya sebagai pembantu pencari nafkah tapi justru harus menafkahi keluarga. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kondisi dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh saling menghormati, menghargai, bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing dan bantu-membantu di berbagai sektor kehidupan.


D.      Analisa Hukum
Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 ayat 2 (amandemen ke dua) menegaskan bahwa:
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat  diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Berdasarkan UUD tersebut, kasus di atas walaupun istri rela mencari nafkah utama dalam keluarga tanpa paksaan dari suami, namun mengalami diskriminasi / ketidakadilan antara suami dan istri, dimana suami yang seharusnya menjadi penanggungjawab dalam keluarga termasuk mencari nafkah lahir dan istri mencari nafkah tambahan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, justru istri yang menjadi pencari nafkah utama. Suami yang memiliki fisik lebih kuat dari istri seharusnya sebagai pencari nafkah utama, karena suami juga menjadi kepala keluarga yang dibebani tanggung jawab penuh atas nafkah kepada istri.
Istri terlalu banyak menanggung beban keluarga dibandingkan dengan suami yang banyak waktunya digunakan untuk bersantai, dengan fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan suami ia harus menyelesaikan tugas sendirian. Jika mengacu pada undang-undang tersebut, seharusnya suamilah yang melaksanakan tanggung jawab dalam menghidupi keluarga, sedangkan istri tidak wajib mencari nafkah dalam arti walaupun mencari nafkah hanya sebagai pembantu pencari nafkah.



BAYI TABUNG (INSEMINASI) DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM



BAYI TABUNG (INSEMINASI) DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A.      Pengertian Bayi Tabung (Inseminasi Buatan)
Bayi tabung adalah istilah awamnya, sedangkan dalam kedokteran dikenal dengan istilah “artificial insemination” atau inseminasi (pembuahan) buatan. Mengenai pengertian dan macamnya maka lumayan beragam, ada GIFT (Gamete intrafallopian Transfer), IVF (in Vitro fertilization), ZIFT (Zygote Intrafallopian Transfer), ICSI (Intracytoplasmic Sperm Injection). Ringkasnya, bayi tabung intinya usaha mempertemukan sperma dan sel telur, sehingga terjadi pembuahan, baik itu di lakukan diluar rahim (disebut Inseminasi Ekternal) atau di dalam lahir (disebut Inseminasi Internal).
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana layaknya kehamilan biasa.
Bayi tabung merupakan bayi dari hasil pembuahan di tabung. Tetapi bayi tabung itu sebenarnya adalah proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita, dalam istilah in vitro vertilization (IVF). In vitro adalah bahasa latin yang berarti dalam gelas / tabung gelas dan vertilization adalah bahasa inggrisnya pembuahan. Dalam proses bayi tabung atau IVF, sel telur yang matang diambil dari induk telur lalui dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Setelah berhasil, embiro kecil yang terjadi dimasukan ke dalam rahim dengan harapan dapat berkembang menjadi bayi.
Status bayi tabung ada 3 macam :
1.         Inseminasi buatan dengan sperma suami.
2.         Inseminasi buatan dengan sperma donor.
3.         Inseminasi buatan dengan model titipan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab infertilitas sehingga pasangan suami istri tidak mempunyai anak, antara lain:
1.         Faktor hubungan seksual, yaitu frekuensi yang tidak teratur (mungkin terlalu sering atau terlalu jarang), gangguan fungsi seksual pria yaitu disfungsi ereksi, ejakulasi dini yang berat, ejakulasi terhambat, ejakulasi retrograde (ejakulasi ke arah kandung kencing), dan gangguan fungsi seksual wanita yaitu dispareunia (sakit saat hubungan seksual) dan vaginismus.
2.         Faktor infeksi, berupa infeksi pada sistem seksual dan reproduksi pria maupun wanita, misalnva infeksi pada buah pelir dan infeksi pada rahim.
3.         Faktor hormon, berupa gangguan fungsi hormon pada pria maupun wanita sehingga pembentukan sel spermatozoa dan sel telur terganggu.
4.         Faktor fisik, berupa benturan atau temperatur atau tekanan pada buah pelir sehingga proses produksi spermatozoa terganggu.
5.         Faktor psikis, misalnya stress yang berat sehingga mengganggu pembentukan set spermatozoa dan sel telur.
Untuk menghindari terjadinya gangguan kesuburan pada pria maupun wanita, maka faktor-faktor penyebab tersebut tersebut harus dihindari. Tetapi kalau gangguan kesuburan telah terjadi, diperlukan pemeriksaan yang baik sebelum dapat ditentukan langkah pengobatannya.

B.       Dasar Hukum Pelaksanaan Bayi Tabung
Dasar hukum pelaksanaan bayi tabung di Indonesia adalah Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992.
1.         Pasal 16 ayat 1 Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapatkan keturunan.
2.         Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a.    Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri darimana ovum berasal.
b.    Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
c.    Pada sarana kesehatan tertentu. Pelaksanaan upaya kehamilan diluar cara alami harus dilakukan sesuai norma hukum, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang telah memenuhi persyaratan untuk penyelenggaraan upaya kehamilan diluar cara alami dan ditunjuk oleh pemerintah.
d.   Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
C.      Analisa Metode Ijtihad Bayi Tabung
Ada beberapa hukum yang ditetapkan ulama tentang bayi tabung / inseminasi buatan. Berbedanya hukum tersebut tergantung bagaimana cara menerapkan proses pembuatan bayi tabung dan dari mana sperma tersebut diperoleh. Hukum yang telah disepakati Dewan Majelis Ulama Indonesia yaitu:
a.    Bayi tabung hukumnya mubah (boleh)
Boleh melakukan upaya bayi tabung / inseminasi buatan apabila dilakukan antara sel sperma dan ovum suami istri yang sah dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqh Islam :
 “Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat / terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal terlarang”.
Metode ijtihad yang digunakan dalam menetapkan hukum bayi tabung ini dengan metode istishab, yaitu: “Menganggap status sesuatu (hukumnya) tetap seperti keadaan semula tanpa perubahan, sebelum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya (membatalkannya)”. Sebelum ditemukan proses bayi tabung, pada dasarnya proses pembuahan / bertemunya sperma dan ovum hanya dengan melalui persetubuhan, namun setelah ditemukan cara modern ini maka pembuahan sel telur bisa dilakukan di luar rahim. Hukum melakukan upaya bayi tabung dibolehkan selama sel sperma dan ovum itu milik suami istri sah dan dikembalikan ke rahim istri tersebut.
Dalam kasus bayi tabung jika yang digunakan dalam berijtihad adalah metode qiyas, diqiyaskan (analogi) pada kasus penyerbukan kurma. Setelah Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau melihat penduduk Madinah melakukan pembuahan buatan (penyilangan / perkawinan) pada pohon kurma. Lalu Nabi menyarankan agar tidak usah melakukan itu. kemudian ternyata buahnya banyak yang rusak. Setelah hal itu dilaporkan pada Nabi, beliau berpesan : “lakukanlah pembuahan buatan, kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Oleh karena itu, kalau inseminasi buatan pada tumbuh-tumbuhan diperbolehkan, maka inseminasi pada manusia juga dibolehkan, selama tidak melanggar syari’at.
b.    Bayi tabung hukumnya haram
Ada beberapa macam proses bayi tabung yang diharamkan, yaitu:
a.    Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) ataupun dititipkan pada rahim wanita lain hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd adz-dzari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
b.    Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd adz-dzari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
c.    Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd adz-dzari’ah, yaitu menghindarkan terjadinya perbuatan zina.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bayi tabung yang dilakukan dengan cara mengambil sperma dan ovum suami-istri dan dikembalikan ke rahim istri tersebut hukumnya boleh. Sedangkan di luar cara tersebut hukumnya haram.


Makalah - HUKUM MENYEMIR RAMBUT


HUKUM MENYEMIR RAMBUT

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pendahuluan
Islam sangat memperhatikan dan menganjurkan adanya identitas umat Islam yang berbeda dengan identitas umat lainnya, yang tampak dalam kepribadiannya yang lahiriah sebagai akibat dari adanya perbedaan ajaran Islam dengan ajaran lainnya. Karena itu, penghayatan akidah Islam, pelaksanaan ibadah, mu’amalah, dan akhlak serta tradisi yang ada dalam Islam tidak boleh sama dengan umat lainnya. Dalam berpenampilan sekalipun, Islam sangat menganjurkan agar umat Islam berpenampilan yang tidak menyerupai umat lainnya. Misalnya makan, minum, pakaian dan gaya hidup. Untuk itu, Nabi menganjurkan kepada para sahabatnya agar berpenampilan beda, tidak menyerupai orang kafir. Contoh dari anjuran Nabi:
1.    Menyemir rambut kepala dan dagu jika telah beruban, dengan sabdanya: Sesungguhnya orang Yahudi dan Kristen tidak mengecat rambutnya. Maka berbedalah kamu dengan mereka (dengan mengecat rambutmu). (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
2.    Memelihara jenggot dan mencukur kumis, dengan sabdanya: ”Cukurlah kumismu dan peliharalah jenggotmu. (HR. Ahmad bin Hambal dari Abu Hurairah).
Dengan demikian, dalam makalah ini kami akan memaparkan hukum menyemir atau mengecat rambut baik bagi laki-laki maupun perempuan dalam perspektif hukum Islam.

B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu, bagaimana hukum menyemir / mewarnai rambut bagi pria dan wanita dalam Islam?




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Menyemir Rambut dan Alasannya
1.         Pengertian Menyemir Rambut
Menyemir rambut yang dimaksud adalah menyemir dengan warna selain hitam. Karena menyemir dengan warna hitam, ada hukumnya tersendiri. Sebagian besar ulama membolehkan, namun ada yang menganggapnya makruh bahkan mengharamkan. Menurut Mahmud Syalthut, Islam tidak mengharuskan juga tidak melarang orang Islam menyemir rambutnya, juga tidak menentukan warna semir rambut. Islam memberi kebebasan kepada umatnya sesuai situasi dan kondisi.[1]
2.         Alasan Seseorang Menyemir Rambut
Hasil survei usage dan attitude yang dilakukan oleh Research International terhadap wanita dan pria Indonesia pada tahun 2008, baru sebanyak 16 persen  wanita dan  14 persen  pria Indonesia menggunakan pewarna rambut. Alasan mayoritas mereka mewarnai rambut yaitu untuk menutupi uban karena mereka merasa khawatir sampai sangat khawatir kehadiran uban dapat mengganggu penampilan, dan ada pula yang beralasan untuk mendapatkan rambut yang lebih berkilau.
"Bagi yang belum mewarnai rambut, alasan terbesar mereka adalah khawatir rambut menjadi rusak, warnanya tidak sesuai yang diharapkan, dan proses pewarnaan yang tidak praktis," ungkap William Lumentut, Head of Marketing-Garnier Indonesia saat peluncuran produk  Garnier Color Naturals di Jakarta.

B.       Hukum Menyemir / Mewarnai Rambut
Sehubungan dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya, dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh para rahib dan ahli-ahli Zuhud itu. Namun Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan batin. Untuk itulah maka dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka." (Riwayat Bukhari)
Perintah di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para sahabat, misalnya Abu Bakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya, seperti Ali, Ubai bin Ka’ab dan Anas.
Tetapi warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Quhafah ke hadapan Nabi pada hari penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah yang serba putih buahnya maupun bunganya. Untuk itu, maka bersabdalah Nabi: "Ubahlah ini (uban) tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)
Yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain. Sedang dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna hitam kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.
Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan: "Sebaik-baik bahan yang dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat Tarmizi dan Ashabussunan)
Inai berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan. Anas bin Malik meriwayatkan, bahwa Abu bakar menyemir rambutnya dengan inai dan katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.[2]
Namun demikian, untuk tujuan tertentu dibolehkan untuk mengecat rambut putih dengan warna hitam, meski para ulama berbeda pendapat dalam rinciannya:
1.         Ulama Hanabilah, Malikiyah dan Hanafiyah
Mereka menyatakan bahwasanya mengecat dengan warna hitam dimakruhkan kecuali bagi orang yang akan pergi berperang. Hal itu lantaran ada ijma’ yang menyatakan kebolehannya.
Maksudnya boleh karena mau pergi berperang adalah untuk memperdaya musuh, seolah-olah tentara Islam itu masih muda-muda, lantaran rambutnya masih berwarna hitam. Padahal mungkin saja ada yang sudah mulai beruban dan rambutnya berwarna putih.
Dan ‘illat yang paling utama dari haramnya menghitamkan rambut memang pada masalah memperdaya orang lain. Seolah-olah masih muda padahal sudah ubanan. Namun khusus dalam perang melawan orang kafir, dibolehkan berbohong dan memperdaya lawan.
2.         Abu Yusuf dari Ulama Hanafiyah
Beliau berpendapat bahwasanya mengecat rambut dengan warna hitam dibolehkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
Sesungguhnya sebaik-baiknya warna untuk mengecat rambut adalah warna hitam ini, karena akan lebih menarik untuk istri-istri kalian dan lebih berwibawa di hadapan musuh-musuh kalian.
Rupanya kebolehan mengecat uban dengan warna hitam, selain dibolehkan untuk mengecoh lawan, juga boleh untuk urusan kebahagiaan suami istri. Dan Islam memang sangat menganjurkan agar seseorang berpenampilan paling baik di hadapan pasangannya. Termasuk mengecat uban menjadi hitam biar kelihatan awet muda.

3.         Ulama Madzhab As-syafi’i
Mereka umumnya berpendapat bahwa mengecat rambut dengan warna hitam diharamkan, kecuali bagi orang-orang yang akan berperang. Ini berbeda dengan pendapat yang nomor satu di atas, di mana mereka tidak sampai mengharamkan, tetapi hanya sampai memakruhkan saja. Namun ulama Asy-Syafi’iyah memang berfatwa sampai mengharamkan. Pendapat mereka ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:
Akan ada pada akhir zaman orang-orang yang akan mengecat rambut mereka dengan warna hitam, mereka tidak akan mencium bau surga.
Semua pendapat di atas hanyalah dalam konteks orang yang sudah tua dan ubanan serta memutih rambutnya tapi berkeinginan untuk mengecat rambutnya dengan warna hitam. Adapun mengecat rambut dengan warna selain hitam, tidak ada larangannya.[3]





BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pemaparan makalah di atas maka dapat kami simpulkan bahwa hukum menyemir rambut dengan warna hitam adalah dilarang. Meskipun demikian, apabila menyemir rambut dengan warna hitam dalam suatu peperangan untuk mengelabuhi lawan agar kelihatan masih muda meskipun sudah beruban itu diperbolehkan. Sedangkan menyemir dengan warna selain hitam itu diperbolehkan tidak ada larangannya. Demikian pemaparan makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin


[1] http://www.sugengprabowo.com/menyemir-rambut-dan-memelihara-jenggot, 
[2] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. H. Mua’amal Hamidy, (Bangil: PT. Bina Ilmu, 1993), hal. 96-97
[3] http://myislamagamaku.blogspot.com/2012/04/menyemir-rambut-dalam-perspektif-hukum.html,