KETIDAKADILAN GENDER
A.
Kasus Gender
Sebuah keluarga yang dikepalai oleh Bapak Edi, tidak melakukan
kewajibannya menjadi pelaku utama pencari nafkah dalam keluarga, tetapi hanya
sebagai pembantu pencari nafkah yaitu membantu istrinya dalam menjalankan
usahanya berjualan bakso. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh sang suami
sebagai pencari nafkah utama tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dan beban
masalah ini harus perempuan (istri) yang mengerjakan. Istri tidak hanya
dituntut untuk bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tapi juga harus bisa
mengurusi semua hal yang berkaitan dengan keluarga, mulai dari memasak, mencuci
pakaian, mengurus anak dan lainnya. Hal inilah yang menimpa pada keluarga ibu Sulis.
Ibu dua anak ini, setiap harinya mencari nafkah keluarga dengan berjualan bakso
di rumahnya, sedangkan suaminya memiliki lebih banyak waktu santai dan hanya
membantu sekedarnya saja.
B.
Pembahasan
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.
Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 disebutkan bahwa:
a.
Gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat.
b.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi,
sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati
hasil pembangunan tersebut.
Sejarah gender ini sebenarnya telah berlangsung lama, meskipun
istilah gender belum dikenal saat itu. Sejak zaman pra sejarah perempuan dan
laki-laki mempunyai peran tersendiri, namun dalam hal kebijakan laki-laki
sangat dominan dan seiring dengan perkembangan zaman peran perempuan semakin
meluas di segala sisi. Keterpurukan peran perempuan pada beberapa zaman seperti
zaman jahiliah di Jazirah Arab juga menggambarkan betapa perempuan pada zaman
dahulu dipandang sebelah mata.
Mansour Fakih (1997) dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi
Sosial menegaskan bahwa ketidakadilan gender dapat mengakibatkan:
marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban berlipat.
1.
Marginalisasi perempuan
Marginalisasi merupakan proses pemiskinan perempuan terutama terhadap
pada masyarakat lapisan bawah. Proses peminggiran kaum perempuan itu dapat
terjadi dimana saja baik dalam lingkungan keluarga maupun di tengah masyarakat.
2.
Penempatan perempuan pada subordinasi
Pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan beranggapan
bahwa perempuan itu tidak mampu berfikir rasional, tindakannya selalu
berdasarkan emosional, lemah, tidak bisa mandiri, dan lain-lainnya, menyebabkan
penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting.
3.
Stereotype perempuan
Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa
tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan
menimbulkan ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan
perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan negatif
yang merupakan keharusan yang disandang oleh perempuan.
4.
Kekerasan (Violence) terhadap perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender lainnya adalah tindak
kekerasan terhadap perempuan, baik yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomis,
dan seksual. Kekerasan itu timbul akibat beberapa faktor, termasuk anggapan
bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap berbagai sektor
kehidupan.
5.
Beban kerja yang tidak proporsional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak
untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya ia berhak untuk diatur oleh
suaminya sehingga pekerjaan domestik yang dibebankan perempuan seolah-olah
identik dengan dirinya. Sementara, laki-laki dengan peran publiknya, menurut
kebiasaan masyarakat (konstruk sosial), tidak bertanggung jawab terhadap beban
kerja domestik tersebut, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.
C.
Analisa Kasus
Merujuk pada materi Hukum dan Gender, penulis berkesimpulan bahwa
peran ganda yang dialami perempuan tersebut dapat dikategorikan sebagai Double Burden
(beban berlebihan). Perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan
lebih lama dari pada laki-laki. Suami sebagai kepala rumah tangga dan memiliki
fisik lebih kuat dibandingkan dengan istrinya tidak menjalankan tugas layaknya
kepala rumah tangga, namun justru istri yang menanggung beban rumah tangga
ditambah lagi dengan pekerjaan rumah lainnya. Istri bekerja tidak sesuai dengan
porsinya sebagai pembantu pencari nafkah tapi justru harus menafkahi keluarga. Kesetaraan
dan keadilan gender merupakan kondisi dinamis, dimana laki-laki dan perempuan
sama-sama memiliki hak, kewajiban, peranan, dan kesempatan yang dilandasi oleh
saling menghormati, menghargai, bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing
dan bantu-membantu di berbagai sektor kehidupan.
D.
Analisa Hukum
Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 ayat 2
(amandemen ke dua) menegaskan bahwa:
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Berdasarkan UUD tersebut, kasus di atas
walaupun istri rela mencari nafkah utama dalam keluarga tanpa paksaan dari
suami, namun mengalami diskriminasi / ketidakadilan antara suami dan istri,
dimana suami yang seharusnya menjadi penanggungjawab dalam keluarga termasuk
mencari nafkah lahir dan istri mencari nafkah tambahan tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya, justru istri yang menjadi pencari nafkah utama. Suami
yang memiliki fisik lebih kuat dari istri seharusnya sebagai pencari nafkah
utama, karena suami juga menjadi kepala keluarga yang dibebani tanggung jawab
penuh atas nafkah kepada istri.
Istri terlalu banyak menanggung beban
keluarga dibandingkan dengan suami yang banyak waktunya digunakan untuk
bersantai, dengan fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan suami ia harus
menyelesaikan tugas sendirian. Jika mengacu pada undang-undang tersebut,
seharusnya suamilah yang melaksanakan tanggung jawab dalam menghidupi keluarga,
sedangkan istri tidak wajib mencari nafkah dalam arti walaupun mencari nafkah
hanya sebagai pembantu pencari nafkah.