Oct 5, 2014

Fikih Muamalah - HAWALAH Dan MEKANISMENYA Dalam PERBANKAN SYARIAH



HAWALAH Dan MEKANISMENYA Dalam PERBANKAN SYARIAH

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Definisi Hawalah.
Al hawalah secara etimologi berarti pindah, seperti kita mengatakan pindah dari perjanjian. Dalam istilah syariah, hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Menurut Firdaus hawalah artinya suatu akad yang mengharuskan pemindahan utang dari yang bertanggung jawab kepada penanggung jawab yang lain. Aplikasi dari definisi ini seperti; si A berutang kepada si B sejumlah uang untuk dilunasi pada hari tertentu dan si A punya hak (mengutangi) si D sejumlah utangnya pada si B. Ketika jatuh tempo, si B menagih utang pada si A, tetapi si A saat itu tidak memilik uang tunai, lalu dia mengatakan, “  Pergilah pada si D, karena ia berutang padaku sejumlah utangku padamu”.[1]
Secara operasional, Al-Jazairi pengalihan pinjaman ( hawalah) ialah pemindahan (pengalihan) utang dari pengutang kepada pengutang lainnya. Misalnya si A mempunyai piutang pada si B, dan pada saat yang sama, si A mempunyai utang kepada si C sejumlah piutangnya pada si B. Ketika si C menagih utangnya pada si A, si A berkata, “ Aku alihkan pembayaran utangku kepada si B, karena aku mempunyai piutang padanya sebesar utangku padamu dan ambillah uang tersebut darinya”. Jika si C (penerima pengalihan) menerima cara seperti itu, si A (pengalih pembayaran utang) tidak lagi mempunyai utang pada si C.[2]
Wahbah al-juhaili berpendapat, hawalah adalah pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berutang kepadanya atas dasar saling mempercayai.
Imam taqiyudin berpendapat, hawalah adalah pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
Syihabudin al qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud hawalah adalah akad atau transaksi yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lainnya.[3]

B.     Landasan Hukum Hawalah.
Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw,bersabda,
مطل الغنى فاذا اتبع احدكم على ملي فليتبع
Artinya :“ Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Yang mampu atau kaya, terimalah hawalah itu.
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang menghawalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hawalah terseebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan (muhal alaih). Dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah untuk menerima hawalah dalam hadits terseebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama brpendapat bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya menerima hawalah bagi muhal.

C.     Rukun dan Syarat  Hawalah.
Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut
a.     Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b.     Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang berutang padanya secara langsung (muhal).
c.     Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d.    Harta yang diutang  yang dialihkan( muhal bih)
e.     Shighat.
Ulama hanafiyah berpendapat, bahwa yang menjadi rukun hawalah adalah ijab atau pernyataan dari pihak pertama atau muhil dan qabul atau pernyataan menerima hawalah dari pihak kedua al muhal dan pihak ketiga al-muhal alaih.[4]
Syarat-syarat yang diperlukan pihak pertama (muhil):
1.    Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hawalah tidak sah bila dilakukan anak-anak meskipun ia sudah ia mengerti (mummayiz), ataupun dilakukan orang gila.
2.    Ada pernyataan persetujuan atau rida. Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hawalah maka akad itu tidak sah. Adapun persyaratan ini ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jika kewajibannya untuk membayar utang dialihkan kepada pihak lain.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak kedua ( muhal) sebagai berikut:
1.    Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama.
2.    Ada persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hawalah. Persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada yang sulit membayarnya, sedangkan menerima pelunasan utang itu merupakan hak pihak kedua.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh pihak ketiga (muhal alaih) adalah:
1.    Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal sebagaimana pihak pertama dan kedua.
2.    Adanya pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (muhal alaih). Hal ini diharuskan karena tindakan hawalah merupakan tindakan hukum yang melahirkan pemindahan kewajiban kepada pihak ketiga (muhal alaih) untuk membayar utang kepada pihak kedua (muhal) , sedangkan kewajiban membayar utang baru dapat dibebankan kepadanya, apabila ia sendiri yang berutang kepada pihak kedua. Atas dasar itu, kewajiban itu hanya dibebankan kepadanya, jika ia menyetujui akad hawalah.
3.    Imam Abu Hanifah menambahkan syarat bahwa qabul atau pernyataan menerima akad harus dilakukan dengan sempurnaoleh pihak ketiga didalam suatu majelis akad.
Syarat-syarat yang diperlukan terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:
1.    Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang telah pasti.
2.    Pembayaran utang itu mesti sama waktu jatuh tempo pembayarannya, jika terjadi perbedaan waktu jatuh tempo pembayaran diantara kedua utang itu, maka hawalah tidak sah.
3.    Utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya. Jika diantara kedua utang itu terdapat perbedaan jumlah, misalnya utang uang, atau perbedaan kualitas misalnya utang dalam bentuk barang, maka hawalah itu tidak sah.[5]

D.     Macam-macam Hawalah.
Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan muqayyadah,
1.    Hawalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan utang pada yang lain tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar utangnya dari utang yang ada padanya.
2.    Hawalah muqayyadah adalah seseorang memindahkan pembayaran utangnya pada orang lain, dari utangnya yang ada pada orang tersebut.
Hawalah muthalaqoh tidak diperbolehkan oleh para ulama, kecuali ulama hanafiyah, alasan ulama (tiga madzhab selain hanafiyah) yang melarang hawalah semacam ini adalah karena orang yang dipindahkan pembayaran utang (muhal alaih) tidak ada hubungannya dengan orang yang memindahkan utang (muhil). Artinya ia tidak mempunyai kewajiban yang harus ditanggung dan dibayarkan kepada muhil, sehingga jika hal ini terrjadi berarti bukan hawalah, melainkan kafalah.[6]
Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu :
1. Hawalah al-Haqq (pemindahan hak) Hawalah haqq adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain atau pemindahan hak untuk menuntut hutang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
2. Hawalah ad-Dain (pemindahan hutang) Hawalah ad-dain adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah haqq, karena pengertiannya sama dengan hawalah yang telah diterangkan di depan yakni yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.[7]

E.      Beban Muhil Setelah Hawalah.
Dalam buku fiqh sunnah,Sayyyid Sabiq mengatakan bahwa apbila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil menjadi gugur, andai kata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau menbantah adanya hawalah atau meninggal dunia maka pihak kedua (muhal) tidak boleh kembali lagi berurusan dengan pihak pertama (muhil) karena memeng utangnya telah dihawalahkan. Demikianlah pendapat jumhur ulama.
Berbeda dengan jumhur ulama, Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkannya (al muhal) boleh menagih utangnya lagi kepada pihak pertama ( muhil). Sementara madzhab maliki berpendapat apabila muhil telah menipu muhal ternyata muhal alaih adalah orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar , maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Dalam kitab al-muwatta Imam Malik menulis bahwa orang yang menghawalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajibannya, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.[8]
Perlu dikemukakan bahwa akad hawalah ini mempunyai jangka waktu berlakunya. Akad hawalah akan berakhir apabila :
1.    Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu membatalkan akad hawalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad itu pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran utang kepada pihak pertama.
2.    Pihak ketiga telah melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3.    Pihak kedua menghibahkan atau menyedahkan harta yang merupakan utang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga.
4.    Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan itu.
5.    Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua. Dalam hal ini tentu beban utang pihak ketiga tersebut diperhitungkan dalam pembagian warisan.

F.      Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1.    Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2.    Post dated check.
3.    Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.[9]











BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan.
1.  Al hawalah secara etimologi berarti pindah, seperti kita mengatakan pindah dari perjanjian. Dalam istilah syariah, hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
2.    Dalam pelaksanaan, hawalah harus memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut
a.       Orang yang memindahkan tanggungan utang (muhil).
b.      Orang yang memberikan utang yang dipindahkan pelunasannya dari orang yang berutang padanya secara langsung (muhal).
c.       Orang yang dipindahkan tanggungan utang padanya (muhal alaih)..
d.      Harta yang diutang  yang dialihkan( muhal bih)
e.       Shighat.
3.  Dalam pelaksanaannya, hawalah ada dua yaitu hawalah muthalaqoh dan muqayyadah,
4.    Ditinjau dari segi obyeknya hiwalah dibagi 2, yaitu : Hawalah al-Haqq, Hawalah ad-Dain.
5.    Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
a.       Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b.      Post dated check.
            c.    Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting,                           nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.



[1] Ismail Nawawi, fikih muamalah klasik dan kontemporer , Bogor ; Ghalia indonesia,2012,hal 180
[2] Ibid, hal 180
[3] Abdul Rahman Ghazaly, fikih muamalat, Jakarta; Kencana Prenada Media Group,2010,hal 254

[4] Ibid, hal , 255.
[5] Ibid hal,257
[6] Opcit, hal : 182
[8] Ismail Nawawi, fikih muamalah klasik dan kontemporer , Bogor ; Ghalia indonesia,2012,hal 257-258.
[9]Muhammad Syafii Antonio, Islamic Banking( Bank Syariah dari Teori ke Praktik),Jakarta; Gema Insani,hal.127.

No comments:

Post a Comment